Pure Wrath : Pugar Arang sisa Parang

kehilangan orang terkasih, selalu merupa duka paling purba.

“Senyap”

Berbicara peristiwa 1965 memang sulit menemu muara, setidaknya bagi saya pribadi. Semacam benang yang kadung kusut, sulit membedakan mana pangkal mana ujung. Narasi bertebaran, saling bertumbuk, sulit menyuling sepi dalam riak dan gaduh. Telisik mencari tahu siapa yang benar dan salah, dalam peristiwa ini, akan berakhir sebagai upaya paling sia-sia, laku mubadzir semata.

Joshua Oppenheimer, sineas berkebangsaan Amerika Serikat yang melanjutkan penelusurannya terkait peristiwa durjana itu, melalui senyap, The Look of Silence (2014). kali ini lensa diambil melalui perspektif “penyintas”. Lain hal dari pendahulunya “jagal”, dimana peristiwa diceritakan dan di-peraga-kan ulang oleh sang algojo,  “pelaku kekerasan”.

Kisah tentang adi rukun, seorang lelaki paruh baya dari Deli Sumatera Utara, yang disela aktivitas hariannya, sebagai penjual kacamata keliling, memutuskan untuk menelusuri kisah tentang bagaimana mendiang kakaknya, ramli, ditikam dan ditebas hingga koyak tubuhnya, dan jasadnya dihempaskan ke sungai ular, oleh beberapa orang yang salah satunya merupakan pamannya sendiri.

Adi dengan ketabahan yang nyaris rumpang, mencoba menemui beberapa orang yang terlibat peristiwa tragis yang merubah kehidupan keluarganya, sampai sekarang. Rohani, ibunya berhenti tukar-sapa dengan siapapun disekitar tempat tinggal mereka. Rukun, ayahnya, kondisi fisik dan mentalnya memburuk setelah kejadian itu. Acap bermimpi dan berhalusinasi, dia tersesat disebuah ruang buntu, yang dibelakangnya seolah banyak orang mengejarnya. 

Adi mengharapkan permintaan maaf dan perasaan menyesal dari para pelaku yang menikam dan memburaikan usus kakaknya, hingga meninggal. Hingga film usai, permintaan maaf yang adi dapat salah satunya adalah dari istri dan anak pelaku, bukan dari para pelaku. Beberapa pelaku jengah ketika adi berterus terang dengan tujuannya. Bahkan Adi, Joshua dan beberapa kru, di usir oleh salah satu keluarga pelaku. Adi melipat kembali kekecewaannya, lantas membungkusnya dengan rapi, rapat-rapat.

“Hymn to the Woeful Heart”

Pure Wrath sebagai salah satu dari sekian banyak project dari Januaryo Hardy, Seorang Mastermind, musisi gaek dan Sound Engineer asal bekasi, yang daya vital kreasinya seperti tanpa jeda, seolah ditangan kirinya cawan anggur Dyonisos, dan tangan kanannya mengenggam roti Apollo. Untuk kemudian menenggak dan melumat keduanya nyaris tanpa sisa. Adalah Dubermur Morti Production, sebuah label musik ekstrim asal Prancis, yang turut membidani lahirnya anak rohani ke-3 milik Ryo, yang 2 tahun sebelumnya, sebuah Extended Play (EP) bertajuk The Forlorn Soldiers, dengan merujuk tema yang sama, tragedi kemanusiaan tahun 1965-66 juga dibidani label tersebut.

Melalui Hymn to the Woeful Heart,  Pure Wrath seolah mengguar arang dari sekam yang usang. Mendedah senyap dalam lansekap dingin dan melankolis, melanjutkan avonturisme EP sebelumnya,  The Forlorn Soldiers. Hymn to the Woeful Hearts menakik babakan tragedi dari sebuah episode sejarah,  kedalam palung paling personal.  Hymn to the Woeful Hearts berhasil mengeja dendam dalam sekam kesumat yang tabah. Menampilkan narasi alternatif dari gejolak politik-sosial pada tahun 65-66. Meskipun bukan yg pertama, setidaknya ada Tigapagi – Roekmana’s Repertoire (2013), sebuah kolektif musik dari Kota Kembang yang mengangkat babakan tragedi 65 ke dalam satu album penuh dengan nuansa folk. Meskipun dengan pendekatan dan penyajian warna musik yang sangat berbeda, bahkan nyaris berbanding terbalik namun menguarkan nuansa kelam yang serupa. Menghabiskan satu putaran album Hymn to the Woeful Heart, semacam membuka kotak pandora. Dingin sekaligus Megah disatu sisi, Geram dan Amarah yang dibalut dengan Tabah disisi lain.

“ The Cloak of Disquiet” sebagai nomor pembuka jalan menuju belantara kehilangan yang asing. Bertutur tentang seorang ibu yang bertahun menyulam dendam, atas kehilangan terbesarnya, dengan cara yang tidak siapapun sanggup membayangkannya. Duka yang tumbuh menjalar dan merambat menjadi kebencian yang matang. Di pertengahan lagu, turut disisipkan pula sebuah Monolog Rohani, serupa mantra dihadapan pusara yang dingin. “Doakanlah agar anak-cucu mereka dibalas, Supaya yang membunuh kau, doakan supaya dibunuh juga dia” .

“Years of Silence”, mungkin merujuk pada salah satu film dokumenter yang masih bercerita tentang palagan sosial-politik 65 yang bertajuk “40 Years of Silence”. Film tersebut merupakan kumpulan testimoni para penyintas yang telah merawat luka dan trauma dengan senyap selama bertahun. Diskriminasi dan alienasi yang harus mereka tanggung, sebab beberapa anggota mereka terlibat dalam tragedi 65. Namun mereka tidak pernah diam, perjuangan untuk mendapatkan rehabilitasi dan rekonsiliasi terus dinyalakan, termaktub dalam bait “Silence shall be broken/Until the storm restores the spirit/Under the stars of hope and faith/Above the land of eternal wisdom”.

“Presage from a Restless Soul”, kemurungan tidak hanya menghinggapi penyintas, namun juga mereka yang rubuh dikoyak ujung sangkur, menggigil redam diantara nyalang senapan dan derap angkuh sepatu lars. Terbayang mereka bergumam, bertukar lirih dipelatar malam. Peradilan masih saja tumpul sementara tubuh mereka yang koyak semakin menuju hilang. “ We despised the darkness that stood within us all/The heart cried for revenge as their shadows faded into light “.

“Footprints Of The Lost Child”, kembali merujuk pada salah satu babakan “Senyap”, dimana rekam pilu bagaimana nafas Ramli perlahan menemu pangkal. Bagaimana hari-hari setelahnya merupa senyap. Untuk Rukun dan Rohani langit semakin hari malah semakin kelabu, nestapa yang mereka peram setiap waktu, menjadi ngilu dan gejah yang baqa’. Rohani melawan dalam diam yang dingin, dalam geram yang tak lekas lekang. Usia yang berangsur lamat menuju tenggat, beriringan dengan lumatnya harapan dan keyakinan akan tegaknya adil bagi kepergian Ramli. “in the dawn where the hearts are wounded by solitude, the bright light of sunrise illuminates the frailty, of a dying faith and spirit in our hearts”.

“Those Who Stand Still”, ketegaran seorang ibu yang kehilangan anaknya -dengan cara yang tak pernah diharapkan oleh siapapun- pernah berpancang tegak, dirawat dengan telaten dan khidmat. Namun tiran dan kekuasaan yang bertengger waktu itu lebih kuat dari pancang tegar yang dibangun. Cakarnya merampas apapun yang bersuara. Kebenaran menjadi serupa lumut di belantara hutan. “The howl was heard from a distant place, where welfare was preserved in obscurity/Forthwith to welcome the remaining spirit, and those who stand still throughout the dark time”

“Hymn to the Woeful Hearts” merupa nomor penutup dari avonturisme Ryo di hampar palagan sosio-politik 65-66. Senyap adalah kebenaran terakhir yang tersisa.

Hymn to the Woeful Hearts seolah memugar arang sisa parang dengan telaten, mengabarkan pada kita suatu Riwayat tentang samsara, menjadi salah satu oase ditengah kering dan tandusnya narasi tunggal yang dibakukan oleh negara.  Pada laman bandcamp-nya Ryo menukil sebuah paragraf “The record serves as a dedication to a mother and survivor of the 1965 Indonesian genocide whose son was kidnapped, tortured and brutally beheaded. For more than fifty years she had to pretend everything was normal through every second of her sorrow, living under the shadow of the still-powerful perpetrators.”