Radikalisme itu Pemikiran, Kok yang Dilarang Pakaian

Menteri Agama Fahrul Razi yang baru dilantik beberpa pekan lalu sempat menyinggung masalah cadar dan celana cingkrang. Sebabnya bagi Fahrul Razi kedua model berpakaian tersebut sudah kadung menjadi stereotipe bagi radikalisme atau yang sekarang diganti istilahnya menjadi manipulator agama.

Bagi saya masalah pakaian di Indonesia tidak terlalu relevan dengan perilaku seseorang. Kadangkala saya menemukan orang yang pakaiannya serba punk tetapi rasa saling tolong menolongnya jauh lebih bagus dibanding dengan orang yang berpakaian serba rapi dan mengikuti tren.

Tentunya, dalam kondisi sosiologis yang njlimet ini, semua hal tidak bisa disamaratakan begitu saja, artinya dinamisasi masyarakat tidak selalu berjalan lurus dengan stereotipe-stereotipe yang ada. Contohnya sekarang banyak juga kok pengajian yang diisi bukan dengan alat musik khas Islam semisal marawis dan hadroh, malah ada pengajian yang diiringi dengan musik akustik.

Dan tidak selalu yang mengisi pengajian di masjid-masjid adalah para lansia. Sekarang banyak juga gerakan pemuda-pemudi yang haus pengajian. Jadi, kembali ke masjid ketika tua sudah bukan tren yang cocok pada masa ini. Bahkan sebuah cafe sekarang bisa saja dan mungkin banyak dijadikan tempat berdiskusi seputar keislaman.

Dari beberapa fenomena tersebut artinya stereotipe tidak laku-laku amat di Indonesia, toh nyatanya pakaian tidak selalu ikut membentuk watak dan perilaku penggunanya. Meski memang tidak semua, akan tetapi minimal kita tau bahwa cara berpakaian bukanlah sesuatu yang harus disangsikan. Saya pakai peci anda tidak pakai, pada prinsipnya jika sama-sama muslim tetap wajib shalat.

Begitu juga dengan perilaku sosial, dalam berbagai macam fashion di kota yang telah bercampur baur dan hampir bias, terkadang hal ihwal pakaian tidak menjadi sesuatu yang perlu diribetkan, dipusingkan. Tetapi bagaimana jika ia radikal dalam konteks memiliki keyakinan beragama yang ekstrimis dan membahayakan? Ya ditindak saja. Apa gunanya aparat penegak hukum?

Sekarang begini, kalau kebijakan pelarangan bercadar dan bercelana cingkrang ini diterapkan bagi ASN di lingkungan kerja, katakanlah misalnya ASN tersebut memang radikal, lantas apakah dengan ia tidak bercadar pemikiran radikalnya ujug-ujug hilang? Radikalisme itu pemikiran dan yang sedang diberantas adalah fashion.

Banyak teman saya di tempat kerja yang bercelana cingkrang, janggutnya tipis sengaja dipanjangkan dan selalu pakai peci putih tapi ternyata setelah ngobrol banyak dia itu pendukung Jokowi dan suka lagu-lagu Dreamtheater bukannya malah Maher Zein atau Murotalnya Muzammil Hasballah.

Begitulah kondisi sosial kita, tidak ada yang pasti dan benar-benar menentukan. Kehidupan sosial selalu dilihat dari hubungan kebersamaannya. Tidak perlu memandang seperti apa rupa dan pakaiannya, kalo ternyata ia lebih ramah dan lebih santun dari kita, bisa malu sendiri nantinya.

Saya selalu ingat pesan Cak Nun bahwa untuk menjadi ayam yang baik jika bertemu kambing ayam itu tidak perlu mengembik, cukup berprilaku sebagaimana ayam. Begitupun untuk menjadi masyarakat beragama yang baik dan taat aturan negara, tidak perlu mengganti pakaiannya, cukup saling menghormati dan menjaga satu sama lain.