Manusia dilahirkan ke dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap insan yang menginjakkan kakinya di dataran bumi ini pasti dibekali dengan kekurangannya. Namun, Tuhan tidak menjadikan kekurangan itu sebagai benteng yang menghalangi manusia untuk berkarya. Karena dengan kekurangan itulah kita tahu akan kelebihan kita yang sebenarnya. Kuncinya hanya satu, bersyukurlah!. Islam adalah agama yang sempurna, Islam menghargai martabat manusia, Islam juga menghormati kaum wanita, Islam pulalah yang membuatku menjadi berbeda dan berkarya. Ibu bilang, wanita muslimah itu bagaikan intan yang disimpan di dalam lemari yang terkunci, terjaga dari kejahatan dan selalu terlindungi. Berbeda dengan intan yang terlantar di pinggir jalan, dijual murahan, kadangkala sudah cacat dan ternodai, kalau sudah seperti itu, siapa yang masih mau untuk membelinya dengan mahal, bahkan mungkin akan terasingkan.
Ketika itu, aku baru pulang dari negeri sakura, aku bersyukur sekali karena mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahku di Jepang, tepatnya di Tokyo University. Suasana musim semi yang masih kurasakan kini semakin menjauh, mungkin bulan April sekarang aku tidak bisa mengikuti hanami lagi bersama kawan-kawanku di sana. Tidak apalah yang penting bagiku sekarang adalah keluargaku yang berada di bumi yang subur nan makmur ini, Indonesia tercinta. Saat ini, aku tengah berteduh di sebuah kafe di daerah Jakarta, hujan yang mengguyur kota metropolitan ini memaksaku untuk membeli secangkir kopi hangat dan beberapa cemilan. Sambil menunggu hujan reda, aku pun berjalan ke tempat duduk paling pojok, karena kursi di depan sudah banyak di tempati orang. Maklumlah, kalau suasana hujan seperti ini kafe itu jadi ramai dikunjungi orang-orang. Sementara aku lebih suka menghindar dari kebisingan gossip-gosip para pemuda yang entahlah apa yang dibicarakannya, tapi menurutku suatu hal yang tidak terlalu penting.
Aku duduk di samping seorang wanita dengan rambut diikat satu di atas kepalanya dan tepat di depan wanita itu seorang lelaki berperawakan kekar, sepertinya mereka tengah kencan, pikirku asal tebak. “Rena!!.” Tiba-tiba suara memanggil namaku. Ternyata wanita di sampingku yang memanggilku. “Chika!!.” Ku sapa pula wanita yang ku kenal itu. Ternyata wanita itu adalah Chika, nama aslinya Jesika Kirana Sari. Teman sekelasku ketika di SMP dan SMA dulu, aku kaget bukan main dan kupikir Chika pun merasakan hal yang sama. Kami bersalaman dan saling tegur sapa menanyakan kabar masing-masing. “Rena!, apa kau melupakan aku?” Tanya seorang laki-laki yang duduk di depan Chika. Kami terlalu asyik mengobrol sehingga melupakan orang yang kini ada di depan kami. “Eh, kamu…” Aku berusaha untuk mengingat lelaki itu. “Ini Hanif, yang dulu sering kita buli, hahaha.” Chika memberitahuku, mungkin karena terlalu kesal melihatku berfikir lama. “Oo.. Hanif, iya iya aku ingat sekarang. Maaf ya dulu kau sering dibuli oleh kami.” Aku berusaha tersenyum dan meminta maaf atas perlakuanku dulu. Ternyata Hanif berubah seratus delapan puluh derajat, yang dulunya dia pendek dan kurus, kini berubah menjadi seorang pria berbadan kekar dan tinggi, dan gaya rambutnya yang aneh. Ya menurutku itu aneh karena rambutnya yang dibiarkan panjang hingga menyentuh daun telinganya. “Eh, Rena! Ternyata penampilanmu sekarang berubah ya, hehehe.” Hanif meledek. Aku tersentak.
Penampilanku yang dulu dengan yang sekarang memang jauh berbeda, dulu aku tidak berkerudung, sekarang aku sudah menjadi seorang akhwat yang mengenakan kerudung dengan rapi dan tertutup, sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam surat an-Nur ayat 31 yang artinya “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya …”
Chika lalu berbalik menatap penampilanku yang sedari tadi tidak menyadarinya “O iya, sekarang jadi ustadzah ciyee!.” Chika pun ikut meledekku. Sementara itu, Hanif dan Chika mentertawakanku seolah lucu melihat penampilanku yang berbeda dengan enam tahun silam. Kemudian seorang pelayan yang mengantarkan pesananku tiba dan menyimpannya di atas meja di depanku, Hanif dan Chika pun berhenti tertawa, akhirnya. “Kalian ini bagaimana sih, bagus dong kalau berubah ke arah yang lebih baik.” Timpalku sambil mencoba meneguk kopi hangat hari ini. “Maksudmu, berarti dulu kau tidak begitu baik?” Chika bertanya penasaran. “Hmm… begitulah.” Jawabku singkat, tentu saja Chika masih penasaran dengan pertanyaannya.
Aku malu ketika mengenang masa remajaku yang begitu feminis. Hidupku terlalu liberal saat itu, hingga aku berani memarahi ibuku sendiri karena hal sepele, memukul adikku Aliya, karena ada sedikit kesalah pahaman. Aku membuat geng bersama teman-temanku, salah satunya Chika. Dulu kami belum kenal Islam lebih jauh, bahkan mungkin tidak mau kenal Islam karena aturan-aturannya yang menurutku terlalu kejam, apalagi pada kaum wanita. Sepertinya pergerakan wanita itu dibatasi dengan aturan-aturan tertentu. Bahkan Islam itu sepertinya membeda-bedakan derajat kaum wanita dengan kaum laki-laki, padahal Tuhan menciptakan manusia itu sama, yaitu dari sperma.
Aku selalu membantah ketika ibu menyuruhku mengenakan hijab. “Rena!. Kau sudah besar, tutuplah aurat rambutmu dengan kerudung!.” Aku malah membantah semena-mena, “Berisik Ibu!, tiap hari kerjaannya menyuruhku untuk pakai kerudung. Nanti juga kalau aku mau pasti aku pakai.” Aku pergi meninggalkan ibu untuk bertemu dengan teman-temanku dan ibu hanya menggelengkan kepalanya. Ayahku sudah meninggal dunia ketika aku berusia dua belas tahun, dan ibu sedang mengandung tiga bulan oleh Aliya, Ayah meninggal karena kecelakaan. Mungkin tekanan psikologi juga yang mendorongku untuk berakhlak seperti itu. Entah setan apa dan dari mana asalnya sehingga berani merasuki diriku ketika itu, aku lebih memilih teman-temanku daripada ibuku.
‘Waktu itu ibarat pedang, barangsiapa tidak bisa mengendalikannya dengan baik maka ia akan memotongmu’. Kata-kata itu aku dapatkan dari guru agamaku hari itu. Aku sadar sering membuang-buang waktu dengan percuma bersama gengku. Aku tidak dapat menggunakan waktu dengan baik dan tidak mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat, tapi aku malah menyia-nyiakannya dengan candaan, gurauan, main-main dan hal-hal bodoh lainnya. Ibu selalu mengingatkanku waktu shalat, tapi aku malah melalaikannya. ibu sering menasihatiku untuk menjadi wanita shalehah, tapi Aku tidak memperdulikannya. Ibu tidak bosannya mengajakku ke pengajian untuk mendengarkan ceramah, tapi selalu saja dengan beribu alasan, aku menolak ajakkan ibu. Dan yang paling parah lagi aku sama sekali tidak mau membantu pekerjaan ibu, walaupun sebenarnya ibu tidak pernah meminta untuk dibantu.
Masa kelam adalah masa suram, saat usiaku menginjak delapan belas tahun, tepatnya ketika aku duduk di bangku SMA kelas tiga, aku mulai berpikir dan merenung tentang semua tingkah laku yang rusak dalam diriku. Aku ingat kejadian yang selalu menghantui pikiranku, sejarahnya dimulai tanggal 22 Desember yaitu sering dikenal sebagai Hari Ibu. Tepatnya ketika ibuku memakaikan kerudung kepada Aliya, adikku yang saat itu berusia tujuh tahun. Aku tidak sengaja mendengarkan perkataan ibu kepada Aliya, “Annakku Aliya, ketika kerudung ini menutupi rambutmu yang panjang, ketika itu juga ibu merasa bersyukur telah dianugerahi anak secantik dirimu.” Ku lihat ibu tersenyum bahagia kepada Aliya dan Aliya juga membalas senyum ibu. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka seolah seperti hanya Aliya lah anak satu-satunya. Ibu melanjutkan ucapannya, “Ingat nak! Wanita shalehah itu sebaik-baiknya perhiasan, wanita shalehah itu ibarat intan yang disimpan di sebuah lemari yang terkunci. Tidak sembarangan orang dapat menyentuhnya, apalagi berniat untuk mengambilnya. Janganlah Aliya menjadi intan yang tergeletak di jalanan, yang siapa saja dapat menyentuhnya dan membelinya dengan murah. Sesungguhnya permata yang cacat itu tidak bisa dikembalikan ke bentuk yang sempurna, karena luka itu akan terus membekas.” Kulihat tangan ibu yang lembut merapikan kerudung yang dikenakan Aliya, hingga di akhiri dengan ucapan ibu lagi, “Seandainya kakakmu juga menutupi auratnya dengan sempurna ibu akan merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.” Ibu meneteskan air matanya, Aliya pun segera memeluk ibu.
Seketika itu aku sadar dengan segala khilafku dan kesalahanku, aku menangis di kamarku karena mengingat kesalahan-kesalahan dan perilaku yang kuberikan pada ibuku sendiri yang begitu menyayangiku. Namun, aku tidak mau kelihatan lemah di hadapan ibu dan Aliya, aku bukanlah anak yang cengeng. Beberapa hari setelah kejadian itu aku pun mulai meminta maaf kepada ibu dan Aliya, sedikit demi sedikit aku merubah sikapku dan perubahan yang begitu berarti adalah sekarang aku sudah belajar memakai kerudung, walaupun masih sedikit berantakan. Akan tetapi, ibu menyukai penampilanku yang sekarang dibandingkan sebelumnya.
Aku yang dulu sebagai anak pembangkang, kini menjadi anak penurut dan penyayang. Aku yang dulu sebagai anak pemarah, kini menjadi wanita yang ramah tamah. Aku yang dulu suka membuang-buang waktu, kini menjadi sesosok yang mampu mengatur waktu dengan baik. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk berubah ke arah yang lebih baik lagi. kini aku sudah mendapatkan cahaya Islam yang sebenarnya, Aku menyadarinya bahwa Islam sangat memuliakan kaum wanita, melindungi wanita, karena Islam itu tegas bukan kejam. Dulu aku tidak ingin mengenal Islam lebih jauh, sekarang aku mau dan rindu dengan Islam. Sedikit demi sedekit kuluangkan waktu untuk belajar tentang Islam. Kumpul-kumpul bersama geng juga sudah jarang kulakukan, kalaupun mereka sering menanyakan alasan dan kuberi alasan yang rasional.
Cerita aku bisa kuliah di Jepang adalah pasca kejadian itu, aku jadi semangat belajar. Pelajaran yang kusukai adalah bahasa Jepang, kebetulan pamanku ada yang bertugas di Jepang sebagai anggota himpunan mahasiswa Islam Jepang, sekarang beliau sedang melanjutkan S-2 nya di sana. Aku termotivasi oleh pamanku sehingga aku mau belajar, belajar, dan belajar tentang bahasa Jepang, kebudayaannya, keadaan Islam di sana dan kebiasaan sehari-hari orang Jepang. Pamanku juga sering mengirimkan buku-buku panduan dan memepelajari Nihongo, bahkan aku dikursuskan bahasa Jepang kepada salah satu temannya yang sekarang menjadi salah satu guru bahasa Jepang di sekolahku.
Berkat do’a, usaha, kerja keras yang kesungguhan, dalam waktu beberapa bulan aku mahir berbahasa Jepang, tidak lupa juga aku dengan cita-cita ibuku, “Dulu, Ibu ingin sekali mendirikan sebuah butik yang bernuansa Islami. Namun, karena tidak ada biaya dan fasilitas yang mendukung, sampai sekarang butik itu hanyalah sebuah mimpi.” Ibu berkata seperti itu, jauh sebelum aku berubah menjadi anak yang baik. Terbesit di benakku untuk ikut kursus menjahit, tetapi pada saat itu ibu melarangku karena satu bulan lagi akan menghadapi Ujian Nasional dan ikut seleksi masuk salah satu perguruan tinggi di Jepang, tentu saja dengan bantuan dan arahan dari pamanku. Berkat kesungguhan pula aku belajar menjahit kepada bibinya Chika, kebetulan bibinya Chika sebagai penjahit professional. Aku juga belajar mendesain baju kepada guru keterampilanku di sekolah. Hingga pada akhirnya setelah dua minggu belajar dan berlatih, aku bisa menjahit dan mendesain, walaupun hasilnya belum sesempurna yang ahli tapi aku bangga karena aku bisa dan pasti bisa.
Singkat cerita saja, setelah lulus Ujian Nasional dan masuk perguruan tinggi di Tokyo University, Aku mulai mengenal yang namanya hanami, yaitu perayaan musim semi pada bulan April. Hanami ini sebenarnya berasal dari kata ‘hana wo miru’ yang artinya ‘melihat bunga’. Tentu saja melihat bunga, karena pada saat itu, bunga sakura mekar dimana-mana, pohonnya kehilangan daun karena hanya bunganya saja yang bermekaran tanpa daun, indah sekali. Aku di sana mendapatkan banyak teman-teman baru, ada yang penduduk asli ada juga yang berasal dari tanah Indonesia sepertiku. Aku mendapatkan satu teman yang sangat baik padaku dan kami sangat akrab, namanya Kurozawa Akira. Dia penduduk asli Jepang dan di keluarganya hanya Akira lah yang beragama Islam, namun keluarganya yang begitu toleran sehingga Akira hidup nyaman bersama mereka. Berkat mengenal Akira juga, aku mengenal banyak tentang Jepang.
Aku pernah merayakan hanami bersama Akira, aku menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pohon sakura, kebanyakan orang Jepang meminum sake dan bersenang-senang menikmati indahnya hanami. Akan tetapi, aku dan Akira hanya makan-makan bersama makanan khas yang telah dipersiapkan dari rumah Akira, makanan itu namanya bento. Kata Akira perayaan hanami sekarang ada perbedaan dengan perayaan sebelumnya, yaitu jika orang-orang tua menari dengan tarian tradisionalnya, maka kalangan muda yang berjingkrak-jingkrak dengan musik kerasnya, sehingga suasana menjadi hingar bingar.
Selain musim semi, aku juga mengenal musim panas atau natsu. Saat itu, aku dan Akira pergi ke kebun strawberi dan memetik strawberi bersama. Musim panas terjadi pada bulan Juli hingga September. Pada waktu itu agar dapat melewati musim panas yang terik dalam keadaan sehat, orang Jepang biasanya menyampaikan sapaan atau ucapan kepada orang yang dikenalnya, sapaan itu disebut syochuumimai. Agar tidak terkalahkan dengan terik panasnya musim panas, orang Jepang juga biasanya mengkonsumsi unagi yaitu semacam belut, untuk menjaga nutrisi dalam tubuhnya. Di bulan ini, banyak muda-mudi, orang dewasa juga orang tua yang mengenakan yukata, yaitu pakaian kimono yang dipakai pada musim panas dengan warna-warna yang cerah kemudian datang ketempat-tempat penyelenggara hanabitaikai atau pesta kembang api.
Aku diajarkan berkerudung dengan rapi oleh Akira, karena Akira sepertinya seorang akhwat fillāh, yang mengenakan kerudungnya yang panjang dan lebar, pakaiannya selalu longgar dan tertutup sekali, kecuali wajah dan telapak tangan. Akira memang gadis yang beruntung, ibunya seorang pengusaha butik ternama dan Akira sering dibuatkan pakaian gamis dengan beragam mode yang sopan, aku juga sering diberi gamis yang bagus dari orang tuanya. Senangnya bisa merasakan udara di negeri matahari terbit ini, dengan Islam yang kugenggam. Aku bersyukur kepada Allah, karena di limpahkan nikmat yang begitu besar dengan kuliah di Tokyo, Alhamdulillah.
Setelah setahun kuliah di sana, aku pun menyempatkan waktu untuk pulang ke Indonesia bersama paman ketika libur panjang dan aku sangat merindukan ibu dan Aliya di rumah. Saat aku tiba di Jakarta yaitu hendak ke rumah paman dulu, hujan yang mengguyur ibu kota ini membuatku untuk berteduh di sebuah kafe dan disinilah sekarang aku bertemu dengan sahabatku, Chika dan Hanif. Begitulah kiranya cerita singkat yang kukatakan pada Chika dan Hanif sehingga aku menjadi wanita muslimah yang menutup auratnya.
Aku melihat ekspresi Chika dan Hanif yang sepertinya terlihat begitu takjub. “Kamu memang sudah mendapatkan hidayah Rena, aku juga ingin sepertimu.” Tiba-tiba Chika berkata seperti itu. “Kamu juga bisa Chika, asalkan ada keinginan yang sungguh-sungguh di dalam hatimu.” Aku mencoba untuk meyakinkan Chika. “Baiklah akan kucoba untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sepertimu.” Chika tersenyum yakin. “O iya, ngomong-ngomong apa yang sedang kalian lakukan di kafe ini?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ehm, sebenarnya kami sedang mencari pekerjaan Na. Karena hujan, terpaksa kami mampir dulu ke sini, eh malah bertemu denganmu.” Hanif mencoba menjelaskan maksudnya. Kalau saja aku bisa membantu mereka, pikirku.
Selang beberapa menit, tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu. “Eh, kalian mau tidak membantuku mendirikan sebuah butik Islami?” Aku menawarkan mereka dengan penuh semangat. “Waah, mau Rena!!” Jawab Hanif dan Chika serentak. “Ok. Bagus kawan, besok pagi kalian ke rumahku.” Aku senang sekali bisa membantu teman-temanku, walaupun aku sendiri belum yakin. Aku mendapatkan tawaran dari orang tuanya Akira untuk mendirikan sebuah butik di daerah tempat tinggalku, tentu saja ini adalah sebuah hadiah yang tidak mungkin aku menolaknya, sekaligus hadiah untuk ibuku karena cita-citanya akan segera terwujud dan bukan hanya mimpi.
Betapa bahagianya ibu setelah kuberi tahu akan adanya sebuah butik Islami. Suatu hari nanti aku akan mengajak Akira ke Indonesia dan melihat butikku yang bekerja sama dengan butiknya di Jepang. Walaupun aku seorang wanita, namun ibu tidak melarangku untuk terus berkarya, justru ibu sangat mendukung sekali daripada aku membuang-buang waktu tidak jelas bersama gengku. Inilah awal dari suatu perjalanan yang harus ku ukir seindah mungkin agar aku bisa memetik hasilnya di kemudian hari. Terimakasih ibu, kau yang selalu menyayangiku, mendo’akanku, dan menyemangatiku untuk menjadi manusia yang berarti dan berguna. Lisanmu tidak pernah lelah untuk menasihatiku yang pernah menyakitimu, maafkanlah anakmu.
Bagiku ibu adalah seorang wanita tangguh yang harus kuhormati, bagiku ibu adalah sesosok pejuang dalam keluarga ini, walaupun tanpa ayah yang menemani pahitnya perjuangan menghidupi kedua anaknya. Ibu dengan segenap kesabarannya menjalani hidup, dengan ketabahannya menghadapi ujian dari Tuhan. Kini saatnya kau merasakan kebahagiaan itu ibu, aku berjanji untuk menjadi anak yang berbakti selama aku masih diberikan kesempatan untuk bernapas dan bergerak. Terimakasih ibu untuk semuanya, ”Okāsan arigatou gozaimasu!.”