Ruhyan Tetap Tersenyum

ruhyan-breakpos.com

Bendahara kecamatan itu menangis sesenggukan, seisi ruangan pos ronda kecamatan yang disulap menjadi ruang rapat, termanggu melihat tangis perempuan muda. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari seorang kepala desa terkait uang perayaan hari kemerdekaan. Memang dari tahun ke tahun, uang yang dikumpulkan oleh setiap warga kecamatan yang dikordinir oleh tiap-tiap kepala desa, jumlahnya bisa ratusan juta. Tapi baru tahun ini bendahara kecamatan itu dipintai pertanggungjawaban terhadap uang yang ia kelola. Forum ini pun baru kali ini ada, forum yang mempertanggungjawabkan semua uang pesta agustusan itu dipinta oleh seorang kepala desa Mangunjaya yang baru memimpin kurang dari setahun.

Bendahara muda itu hanya berpakaian dinasnya, ia kesal tak habis pikir pada kepala desa baru itu. Selama ini ia hanya melaporkan keuangan pesta rakyat itu lewat kertas dan hanya kepada atasannnya, bukan kepada kepala desa yang ia pikir adalah bawahannya.

“Anda kan dapat uang sumbangan untuk Agustusan dari warga kecamatan, kami kepala desa yang mengordinirnya, maka pertanggungjawabannya, ya ke warga kecamatan.” kata pria kurus berkemeja biru itu lantang di tengah forum.

Seisi forum memandanginya, sebagian kepala desa bingung, berani sekali kepala desa baru itu berkata lantang. Sejak sore bendahara itu sudah diberondong pertanyaan terkait kemana saja uang itu mengalir, dan kini ia sangat kebingungan.

“Jadi kamu mau apa intinya Yan?” kata pak camat mencoba mengakhiri perdebatan yang tak kunjung berhenti.

“Sederhana sih pak, saya mau tahu sisa uangnya berapa? Saya mau pinta sisanya di bagikan lagi ke warga. Ini lagi musim paceklik pak, uang sedikitpun akan sangat berharga buat warga miskin. Ini kok di kecamatan uangnya mau dipakai makan-makan sama pegawai kecamatan, kalian kan tidak ikut patungan, tidak capek ngurusin juga, kan karang taruna yang diberdayakan di kepanitiaan, gaji juga kalian sudah punya. mau apa lagi?”

“Sisanya kurang dari dua juta pak, mau di bagikan ke tiap desa pun hanya sedikit” Kata bendahara itu dengan suara sedikit parau.

“Ya sederhananya ya bu, kalo untuk dibagikan ke warga saja keberatan, apalagi mau dipakai buat makan-makan di kantor kecamatan?” Tandasnya.

“Ya sudah, kita bagi tiap desa saja, biar kecamatan tidak jadi ada makan-makan, nanti kita serahkan juga laporan keuangannya ke tiap desa menyusul, sudah selesai masalah ini?” Kata pak Camat dengan nada tinggi, sedikit kesal.

Meski masih mengganjal tentang uang itu, Ruhyan akhirnya berhenti. Sebetulnya ia masih ingin menelisik kemana saja uang itu mengalir saat acara Agustusan, tapi karena sudah terlalu malam dan ia tidak tega melihat wanita muda menangis. Forum akhirnya bubar. Ia pulang menaiki motor tua berwarna merah.

Sesampainya di rumah ia tidak langsung membuka pintu dan masuk, di terasnya ada kursi bambu, ia sejenak duduk disana. Meluruskan kakinya kedepan dan ditumpangkan pada tempat sampah kecil dihadapannya. Kepalanya menegak keatas, tangannya bersedekap, sejenak ia beristirahat.

“Ayo masuk mas, sudah malam, di luar dingin,” Ruhyan dikagetkan oleh kedatangan isterinya dari dalam rumah, ternyata isterinya belum tidur.

Ruhyan beranjak dari kursi dan masuk rumah, ia ucap salam dan kecup kening isterinya, Ruhyan menyuruhnya untuk tidur duluan, ia ingin mencuci muka dulu dan mengambil air wudhu sebelum tidur. Isterinya nampak cemberut, mungkin ia masih belum terbiasa dengan kesibukan suaminya semenjak menjadi kepala desa.

Ruhyan memang jarang memakai baju muslim atau peci seperti para ustad, ia juga tidak memanjangkan janggotnya. Tapi untuk urusan agama ia paham bahkan ia selalu dalam kondisi suci, termasuk saat tidur sekalipun.

Kamar mandinya terletak di luar rumah karena ia tinggal bersama beberapa keluarga lainnya dengan 3 kamar mandi berjejer, di luarnya ada sumur yang bisa dipakai untuk menimba, tepat disamping sumur ada bak besar berukuran 3 kali 4 meter, tingginya sepinggang orang dewasa, ada tiga paralon yang mengalirkan air ke tiga bak di dalam kamar mandi. Tapi sessampainya di kamar mandi, ternyata ia belum bisa istirahat, ia harus menimba air karena di bak penampungan airnya habis.

“Pak Kades rajin, malem-malem gini nimba air.” Kata tetangganya, suara katrol timbaan sedikit berisik dan sudah pasti menjadi perhatian tetangganya.

Ruhyan hanya tersenyum, ada sedikit kesal di hatinya ketika kebetulan ia mendapati bak penampungan kosong. Tapi ia tetap mencoba tersenyum, ia mencoba memaklumi ini semua, ia berfikir mungkin tetangganya lupa untuk memenuhi bak penampungan setelah memakainya.

“Baknya kosong ya mas?” Kata isterinya, sesampai suaminya dari kamar mandi.

“Ia, tadi udah nimba sedikit buat cuci muka.” Jawab Ruhyan. Ia menghampiri isterinya yang sudah berbaring di kasur. Padahal baru saja ia penuhi bak penampungan air itu.

Ia menceritakan sedikit apa yang ia lakukan tadi hingga harus pulang larut, mencoba untuk meluluhkan hati isterinya yang kesal. Isterinya faham kalau Ruhyan mengurusi kepentingan warganya, tapi mungkin isterinya belum bisa menerima kalau ternyata harus pulang selarut itu, terlebih kuping isterinya masih suka panas kalau mendengar cibiran dari tetangga-tetangga terhadap suaminya. Beberapa warga memang kurang senang terhadap Ruhyan, apapun yang dilakukan, apapun yang diucapkan pasti saja mereka pandang sebelah mata bahkan terkadang dicaci maki. Padahal setiap yang dilakukan Ruhyan selama ini pasti untuk kepentingan umum warga desa.

“Apa maksudnya coba mas? Aku gak habis fikir. Kok, mereka mikirnya sedangkal itu? Bisa-bisanya bilang kamu begini begitu, padahal semua urusan mereka kamu yang urusin.” Protes isterinya,

“Sudahlah biarkan saja, biarlah mereka bilang apa, yang penting tugas dan kewajiban kita terlaksana dengan baik, maafkan mereka! pasti mereka bilang begitu karena ketidaktahuannya saja.” Ucap Ruhyan kalau isterinya sedang berkeluh kesah kepadanya tentang cibiran orang-orang terhadap dirinya.

Cibiran-cibiran itu tak pernah dia ambil pusing, orang-orang terdekatnya juga sering mengadukan hal yang sama kepada Ruhyan, tapi ia malah menenangkan mereka yang terbawa emosi mendengar kepala desanya dicibir orang.

Pernah suatu  hari ia mengurusi khitanan masal di desanya, ia mencari donasi lewat rekan-rekannya yang bekerja di lembaga-lembaga amal supaya  bisa mendanai kegiatannya, ia berdayakan pemuda-pemuda karang taruna untuk menjadi panitia, bahkan ketika pemuda-pemuda karang taruna bekerja kurang gesit saat harus menyebarkan surat ke instansi-instansi besar, ia sendiri yang mengambil surat-surat itu dan menyebarkannya.

Tapi oleh warga yang tidak senang padanya, ia dikata hanya menyusahkan karang taruna, atau bahkan disebut hanya cari perhatian dan pencitraan saja.

Pernah juga suatu hari, Ruhyan baru pulang dari rumah orang tuanya yang hanya setengah jam ditempuh dengan motor karena ia dapat kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit. Padahal lahan padi milik mereka gagal panen karena musim yang tidak tentu. Ia harus menyisihkan uang gaji dan tabungannya untuk membantu biaya berobat orang tuanya yang medadak dan mendesak itu tapi sesampainya di rumah ia lihat ada seorang wanita muda dengan wajah kusut dan baju lusuh, menggendong bayi yang menangis.

Wanita itu teman isterinya, ia meminta bantuan, ia ditinggal suaminya sedangkan uangnya habis dan ia harus segera membeli makan untuk anaknya. Masalah orang tua Ruhyan yang di rumah sakit saja belum jelas arahnya, kini ia sudah dihadapkan untuk mengurusi masalah keluarga orang lain. Tapi itulah Ruhyan, ia tahu hakikat seorang pemimpin adalah pelayan umat. Ia sejenak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia berkata dalam hati pada dirinya sendiri bahwa masalah keluarganya sudah selesai, tidak ada waktu untuk memikirkannya dengan berlebihan apalagi untuk menimbang-nimbangnya dengan perasaan. Kini ia harus membantu warga desanya yang juga teman isterinya.

Ia tidak punya banyak uang untuk bisa dengan bebas ia bagi-bagikan pada warganya, meski ia tahu bahwa warganya membutuhkan tapi ia juga harus memastikan kebutuhan keluarganya tetap aman. Ia menyuruh isterinya untuk memberikan sedikit beras dan ia bungkuskan apa yang ada di meja makannya untuk lauknya, ditambah sedikit uang untuk membeli makanan bayinya,

Isterinya tersenyum melihat Ruhyan melakukan itu semua dengan tetap tenang dan selalu menebar senyum. Yang ia sangat bangga dari suaminya adalah ketenangannya, bahkan dalam kondisi semendesak apapun. Ketenangan berfikir itulah yang mengantarkan Ruhyan pada solusi yang bijak dalam setiap masalah dan senyumnya yang selalu terukir di wajah, selalu membuat orang yang dirundung masalah menjadi lebih tenang ketika berhadapan dengannya. Ia tahu betul bahwa seorang pemimpin tidak boleh memberi muka masam pada umatnya, seorang Nabi Muḥammad saw. saja ditegur oleh Tuhan karena memberi muka masam pada seorang umatnya yang bertanya, apa lagi hanya seorang Ruhyan yang sekedar memimpin desa. Ia harus menjadi penebar senyum.

Yang paling besar jasa Ruhyan bagi warga desanya adalah saat ia menjembatani para petani untuk kemudian berkumpul dalam satu koperasi yang menginduk pada koperasi besar di kota, agar para petani dapat terhindar dari tengkulak yang biasa menekuk harga. Pada panen pertama di tahun ini mereka sudah bisa merasakan hasil yang lebih baik dari pada dahulu ketika mereka masih menjual padi pada para tengkulak.

Paceklik di desanya kini sudah menginjak minggu ketiga, lahan padi yang gagal panen karena kemarau yang terlalu panjang, juga desa mereka yang jauh dari sungai membuat keadan menjadi sedikit lebih sulit, singkong pun mulai habis mereka cabuti dari tanah, persediaan makanan pengganti pun sudah  mulai menipis sedangkan dari pemerintah pusat belum juga turun bantuan.

Menurut kabar, para tengkulak yang merasa bisnisnya terhambat karena ulah kepala desa baru itu pergi ke dukun untuk sengaja membuat desanya paceklik. Tapi Ruhyan bergeming, ia tidak percaya hal yang demikian, menurutnya ini semua hanya ujian bagi warga desa. Maka dari itu, dengan berbekal kas desa dan uang sisa Agustusan, ia mengadakan acara berdoa bersama  memohon karunia Tuhan, ia mendatangi salah seorang Kyai yang kenal dekat dengannya, meminta secara pribadi untuk memimpin acara ini, ia perintahkan juga semua warga yang masih mempunyai makanan agar mengumpulkannya, makanan apapun itu, untuk kemudian saling berbagi.

Para warga menurut, melakukan apa yang diperintah, ada yang membawa singkong, ada yang membawa bahan mentah seperti ikan, ayam dan sayur. Mereka semua datang dengan harapan bisa makan dengan enak hari itu. Mereka yang sudah tidak punya apa-apa disuruh Ruhyan agar membawa peralatan masak dan sekaligus ditugasi untuk memasak, mereka yang tidak bisa memasak ditugasi untuk mencuci piring.

Pelataran masjid menjadi tempat dimana acara itu diselenggarakan, semua sudah berkumpul dan menjalankan tugasnya masing-masing, anak-anak dikumpulkan dalam ruangan di belakang masjid dan salah seorang pemudi yang biasa mengajar di pengajian anak-anak ditugasi untuk mengasuh semua yang berkumpul, semuanya khidmat mendengarkan cerita.

Para orang tua melakukan tugasnya masing-masing, ada yang mengangkat masakan dari bilik samping masjid, yang dijadikan dapur sementara, menuju tengah-tengah kerumunan, ada yang menyiapkan daun pisang sebagai alas makanan, ada juga yang sibuk membuka batok kelapa muda satu persatu lalu airnya dimasukan kedalam sebuah tong, sedangkan batoknya diberikan pada orang disampingnya untuk kemudian dikeruk daging buahnya dan dimasukkan ke dalam sebuah nampan, sedangkan isteri Ruhyan mengajari para perawan desa untuk membuat anyaman dari irisan bambu untuk membuat tempat makanan.

Semuanya begitu seirama, mereka semua antusias untuk mengikuti acara ini, mereka pun memiliki harapan yang besar bahwa dengan silaturahim, makan bersama dan berdoa bersama, desanya akan segera dicabut cobaannya oleh Yang Maha Kuasa.

Ketika semuanya sudah siap, warga dikumpulkan duduk melingkar beralaskan sandal masing-masing kecuali Kyai Sobarna yang diberi alas karpet anyaman, duduk disebelah Ruhyan. Lalu Ruhyan berdiri memberi sambuatan untuk membuka acara ini, menyilakan Kyai untuk kemudian memimpin do’a.

Baru saja Kyai Sobarna hendak berdiri dari duduknya tiba-tiba terdengar suara mobil mengebut kearah kerumunan, semua mata mengarah pada yang datang, terlihat mobil dengan plat kuning dibawa seorang perempuan yang tidak lain adalah bendahara kecamatan itu, dengan beberapa orang laki-laki berbadan besar yang mereka kenal adalah para tengkulak yang dahulu sering memeras petani, semuanya memakai-memakai jaket kulit, berdiri di bak terbuka dibagian belakang mobil.

Tiba-tiba ledakan terdengar memekakan telinga, Kyai Sobarna langsung menunduk kaget dan menutup telinganya dengan kedua tangan, ibu-ibu menjerit takut karena suara itu terdengar begitu keras. Semua mata mengarah pada si penembak yang berada diatas mobil bak terbuka, seketika mobilnya langsung putar balik dan melaju pergi lagi, tak seorang pun yang sempat mengejarnya.

Kyai Sobarna perlahan membuka mata dan melepaskan kedua tangannya, ia sangat terkejut, ia menoleh dan ia lihat disampingnya Ruhyan sedang memegangi dada kirinya dengan tangan kanan, telihat darah segar mengalir dari sela-sela jari tangannya. Semua mata memandangi Ruhyan, tapi semuanya bingung harus berbuat apa.

Tangan kanannya mengejang, nafasnya makin memburu, pandangan matanya terlihat kosong namun kemudian menjelajah ke semua orang, ia mencari isterinya. Seukir senyum menyungging di wajahnya yang terlihat makin pucat pasi, darah sudah makin tak terbendung mengalir dari sela-sela jari yang kini membasahi setengah kemeja putihnya.

Isterinya berlari dari belakang langsung merangkulnya, mendekap bahu suaminya dan menangis menjerit. Ia usap wajah suaminya dengan lembut dan dengan derai air mata, sedangkan warga menatapi kejadian ini dengan membisu.

Kakinya merebah, kedua tangannya kini memegangi dada yang terus mengeluarkan darah, nafasnya makin terasa berat, kini badannya hanya menyandar di dekapan isterinya yang menangis. Ia sebarkan lagi pandangannya yang makin sayu ke semua warga yang ada disana dengan tetap tersenyum yang malah kian lebar, lalu ia gerakkan sedikit kepalanya ke belakang supaya bisa melihat wajah isterinya.

“Aku sayang kamu Yun.” Suara itu terdengar pelan namun sangat tulus, memecah tangis isterinya yang makin tumpah, bahkan beberapa ibu turut menangis pula.

“Cepat mulai do’anya Kyai! Saya tidak mau paceklik ini berkepanjangan.”  Kata Ruhyan setengah berbisik pada telinga Kyai Sobarna yang disodorkan mendekatinya. Kyai Sobarna mengurai tangis.

Langit mulai mendung, awan-awan berkumpul merundungi kesedihan desa ini, sebagian warga turut menangis, ada yang tidak percaya atas apa yang baru saja dilihat. Sebagian mulai beranjak menghampiri Ruhyan, Kyai sobarna tidak mampu menggerakkan lidahnya, hanya tangannya yang erat memegangi tangan kanan Ruhyan. Tangis isterinya pun makin tak terbendung. Kini Ruhyan meregang nyawa.

Laa Ilaha Illa Allah” tegas suara itu ia lantangkan di akhir nafasnya, matanya kosong, kepalanya tergolek. Ruhyan sudah meninggalkan dunia.

Tangannya sudah tidak mengejang, perlahan matanya ditutup oleh Kyai Sobarna, isterinya menangis makin kencang dirangkul beberapa ibu-ibu desa. Hujan mulai turun membasahi desa mengiringi kepergian kepala desa yang sepenuh hati bekerja untuk warganya, langit mengiringi kepergiannya dengan tangis atau mungkin itu pengabulan Tuhan atas do’a diakhir hayatnya untuk desa agar tidak terus paceklik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.