KALEM.ID – “Bahagia bukan soal menerima semata, bahkan memberi pun juga lebih membahagiakan. Karena bahagia tidak terkungkung oleh framing materi, namun soal segmentasi kenyamanan ruhaniah dan kebermanfaatan jasmaniah dalam sudut ilahiah.”
Hey, kau tahu? Aku masih mencintaimu malam ini, aku masih merindukanmu saat ini, dan aku pun belum ingin bertemu denganmu hingga saat ini. Aku masih malu. Kebiasaanku di kota ini masih sama, mencari, memperhatikan, dan memahamimu dalam diam. Aku bahagia lagi malam ini, bahagia karena aku bisa meneteskan air mataku untuk mengingatmu karena bersenda gurau dengan keluargamu membahas tentangmu. Ya, aku bertemu keluargamu hari ini (27 Maret 2018) selepas terbenamnya matahari di ufuk barat. Aku seakan benar-benar melihat sosokmu pada diri orang itu. Tetapi, walau demikian, aku belum siap untuk bertemu denganmu langsung.
Boleh ku ceritakan sedikit tentang salah satu keluargamu itu? Dia lelaki yang sudah sedikit berumur, dia kuat, dia memiliki semangat hidup, dia memiliki dan faham akan falsafah serta misi hidup, dia harmonis dalam ironi dan tangis. Mungkin kau bisa mencari tahu siapa keluargamu yang aku maksud, yang ada dikota ini.
Dia sudah sedikit berumur, aku tak tahu berapa usia tepatnya keluargamu itu, tapi yang dapat kupastikan dengan inderaku, ada kerut di dahi dan pipinya, kulitnya terlihat hitam oleh sengat terik matahari, pengelihatannya sedikit sudah kabur, bahkan dia mencari dan meraba-raba keberadaan Al-Qur`an untuk membaca Al-Qur`an, telapak tangannya terasa kasar. Dari bibirnya, keluar kata-kata bijak berdasar manuskrip-autentik kuno, memang tak dapat kusamakan dengan kalam-reksa baru, namun setidaknya menunjukan bahwa dia memang benar keluargamu. Aku seakan sedang berbicara denganmu, atau setidaknya aku merasakan kehadiranmu saat itu.
Dia kuat, di usia yang senja, dia masih mampu bergerak selama 14 jam setiap harinya. Dia bergerak bukan untuk melakukan hal-hal yang mubah, tapi ibadah. Dia memiliki nilai falsafah garis darah keluargamu seperti yang pernah diceritakan sahabatmu padaku, pantang menyerah dan istiqomah. Aku seakan sedang bertatapan denganmu, atau setidaknya aku merasakan kehadiranmu saat itu.
Dia memiliki semangat hidup, tak kulihat sedikit pun ada keluh dan resah di mata dan tuturnya. Matanya bersinar dan tuturnya berpijar. Dia mengajariku beberapa ayat Al-Qur`an dan membacakannya dengan jelas dan tegas. Penafsirannya menyejukkan, aku sempat berpikir, “kenapa tidak menjadi agamawan online saja? setidaknya tutur ucapnya tidak membuat gaduh dan kisruh umat.” Dia tidak hanya membacakan satu ayat saja, dia membacakan beberapa ayat dengan berbeda-beda surah. Dengan itu, aku sampai pada pertanyaan, “dengan pengelihatan yang demikian, apa dia hafal Al-Qur`an?” Aku tak sempat menanyakannya. Lagi, aku seakan sedang melihat dirimu, atau setidaknya aku merasakan kehadiranmu saat itu.
Baca juga: Seisi Selimut Lurik
Dia memiliki dan faham akan falsafah dan misi hidup, di sela-sela senda gurauku dengannya, dia mengajariku beberapa nilai syukur menurut sahabatmu yang kau banggakan di hadapan seniormu yang membuat seniormu tersinggung pada ucapanmu dulu. Katanya, syukur bukan sekedar mengucap kalimat formalitas oleh lisan, menjalani dengan semangat tanpa meninggalkan dan menanggalkan kewajiban, dan menjalankan fungsi diri, baik jasmaniah maupun ruhaniah, sesuai nilai fungsinya berdasar iradah-Nya. Nilai hidup yang ia jalani sama seperti salah satu tujuan hidup yang diajarkan Al-Qur`an, Etis. Cara mewujudkan tujuan hidupnya dengan cara yang ketiga, utilitarianisme. Di ujung tutur bijaknya, aku sampai pada pertanyaan dalam benak, “apa dia memang agamawan?” Aku seakan sedang bercerita denganmu, atau setidaknya aku merasakan kehadiranmu saat itu.
Dia harmonis dalam ironi dan tangis, pengalaman hidupnya panjang dan mengharukan, walau meski demikian, dia tetap dapat tersenyum. Bahkan senyumnya lebih lebar dari senyumku ketika mendapatkan kiriman. Kau tahu? Dia memiliki lima orang anak, tiga anak pertamanya meninggal dunia akibat himpitan ekonominya dan depresi beberapa tahun lalu. Dua anaknya yang terakhir sekarang masih ada di bumi, namun anak terakhirnya tidak bisa menghirup udara senja Yogyakarta bercampur budaya. Ah… aku seakan sedang berbicara denganmu, atau setidaknya aku merasakan kehadiranmu saat itu.
Kau tahu? Dia juga merindukanmu. Temuilah dia. Atau setidaknya, mintalah pada Tuhanmu untuk menjadikannya bagian dari golongan orang-orang kanan. Jika kau hendak menemuinya, tanyakan apa yang tak sempat aku tanyakan padanya.
Sekali lagi kau benar. “Bahagia bukan soal menerima semata, bahkan memberi pun juga lebih membahagiakan. Karena bahagia tidak terkungkung oleh framing materi, namun soal segmentasi kenyamanan ruhaniah dan kebermanfaatan jasmaniah dalam sudut ilahiah.”
Hey, kau tahu? Aku masih mencintaimu.