Si Budi Kecil

budi-kecil-breakpos.com

Sudah tiga tahun Budi berjualan koran. Menerima panasnya udara di bawah Patung Pancoran menjadi bagian dari aktivitas dan keseharian anak satu-satunya seorang pengepul sampah di belakang kantor penerbitan.

Kemahirannya menjual koran pada usia 12 tahun, mengalahkan para ekonom dari instansi pendidikan tertentu. Mungkin saja itu kelebihan yang Tuhan berikan kepada Budi, di samping ruang dan cara kerja perdagangan di Negeri ini hanya untuk yang punya bibit buat ditanam, tidak seperti Budi dan bapaknya.

 

“Pak, korannya pak?” Jual budi pada mobil-mobil

“Boleh satu de, koran Kom*as.” Jawab salah satu pengemudi

“Pak saya mau tanya, boleh?”

“Kenapa de?”

 

Bunyi klakson bergemuruh di sepanjang jalan, bagai parade ala Amerika Latin, di sini mereka membunyikannya hanya untuk kekesalan dan peringatan atau gertakan.

Seblum pertanyaan diutarakan, mobil pun pergi tanpa pamit pada Budi. Seorang diri ia berjalan menuju ruko dengan koran-koran lusuh ditemani hujan kecil, langkahnya kuat dan tak ada yang menandingi.

Bingung karena merasa ada hal yang bukan seharusnya dia pegang membuat Budi terus-menerus mencari. Sejenak ia ingat tugas sekolah dan pakaiannya yang belum diselesaikannya di rumah, ia bergegas menuju gubuk di Menteng Dalam tepatnya Jalan Catur, terdapat rumah yang harus ia lalui dari gang ke gang.

 

“Kenapa pulang? Masih hujan Bud, harusnya tunggu bapak bawain payung ke sana” tanya bapak sekaligus menyesal

“Ada PR sama mau nyuci baju, nanti setelah itu Budi mau nanya” jawab Budi

“Mending makan dulu sana, baju kamu biar urusan bapak”

 

Ia pun makan dan menuruti keinginan bapaknya untuk tidak mencuci pakaian di malam hari, karena besok pun ia harus ke sekolah khawatir capek dan kesiangan bapak-lah yg kemudian menggesek pakaian.

 

“Pak, apa betul tahun depan kita pindah rumah?” Sambil makan ia bicara

“Habisin dulu makannya, setelah itu bapak jawab” tanggap bapak sambil merapikan tumpukan buku dan cup bekas di depan lawang pintu

“Beres nih pak”

“Kita bukan pindah rumah, cuma sementara pindah ke daerah Cikini tempat kamu dulu Sekolah, di sana ada kontrakan. Jangan khawatir, rumah kita tetap di sini. Kamu jangan pikirin itu, yang penting belajar kerjain PR besok ditunggu teman-teman di pangkalan.”

“Tapi pak, orang bilang Menteng Dalam mau jadi J-Trans toko besar tempat jualan semuanya”

“Siapa yang bilang?”

“Bang Dawi pak, katanya si abang juga kudu pindah” penasaran budi terus membuat bapak tidak tenang

“Itu mah Bang Dawi, kita mah engga kok.”

“Alhamdulillah, yaudah Budi tidur dulu ya pak?”

“Shalat dulu!”

 

Terkekeh budi dan lekas berwudhu

Budi kira bapaknya tak ingat ia belum shalat. Malam yang menyelimuti Budi masih terus menjatuhkan air, membawa hawa panas di udara Jakarta sampai ke cipratan air ke dalam rumah. Sesekali ia membuka-tutup mata bukan untuk semedi, sekedar menahan kantuk ia tidak bisa menahan beratnya mata, tapi ditekan pula dengan beratnya beban sebagai anak pengepul barang bekas.

Seperti hari-hari biasa budi berangkat ke sekolah alternatif di bekas pangkalan minyak punya saudagar kaya atau elit kota di kampungnya. Sebuah perkumpulan pendidikan yang digagas oleh dua orang sarjana ekonomi dan sarjana pendidikan. Namanya Pangkalan Menteng seluruh orang Tebet tau pangkalan tersebut diperuntukan beberapa siswa yang kehidupannya harus berkelahi dengan waktu alias anak jalanan, gelandang, pengamen, pengasong dan bahkan anak yang sering kita anggap amoralis seperti pencopet.

Begitupun untuk beberapa anak yang berdagang di jalanan seperti Budi, pangkalan tersebut tidak hanya mengisi otak dengan sesuatu yg belum diketahui, tapi juga mengajarkan bagaimana bertahan hidup di jalanan.

Bang Jaja sebagai inisiator gerakan pendidikan pangkalan pernah berpikir juga selama ini pangkalan tidak menghasilkan apa pun, justru pengeluaran yang malah kian jelas selisihnya.

Bang Jaja dan Bang Pe’i seakan tidak punya hidup untuk dirinya sendiri, waktunya habis berjualan jus pada siang hari, sekedar belajar atau menyampaikan ilmu pada paginya, dan malam digunakan abang-abang ini untuk mendatangi distributor pertama bahan dagang anak-anak pangkalan salah satunya Budi.

Di pangkalan, Budi cukup antusias dan banyak bertanya juga. Untung Bang Pe’i tau kondisi anak-anak jalanan yang keras, bahasa yang digunakan bukan bahasa administratif sebagaimana struktur kalimat yang kaku, di sana mereka belajar tertawa, menyikapi sesuatu dan berdiskusi, dan tentu membaca. Setiap anak diwajibkan membawa kitab suci masing-masing, pangkalan pun tidak mengenal agama untuk sekedar bertukar pikiran dan tindakan, tidak bertukar keyakinan.

Edo atau Fernando teman baik Budi di jalanan, bapak Edo seorang Nasrani yang menjadi supir angkutan. Suatu saat Budi panik kehilangan uang laba korannya yang biasa ia simpan di bawah tangga jembatan penyebrangan, tapi Edo rela membagi dua hasilnya untuk Budi. Sebuah potret Toleransi di Jalanan yang keras bisa dimiliki anak usia kurang lebih dua belas tahun.

Sebelum berdagang, Budi pulang dulu untuk menemui bapak, ia bertanya pada bapak tentang sekolahnya sekarang.

 

“Pak, kenapa budi gk masuk SMP?”

“Ya nanti bapak masukin, sekarang kamu terima dulu sekolah di pangkalan sama Bang Jaja.”

“Tapi kenapa pak? Kenapa nanti”

“Sekarang barang temuan bapak di belakang kantor sedikit, jadi kalo dijual juga cuma bisa buat kita makan bud. Lagi pula di pangkalan juga sama belajar, bedanya di sekolah dapet surat kalo selesai, di pangkalan gk dapet. Tapi ya surat itu gak terlalu penting kok, asal kamu jadi orang baik dan punya ilmu untuk bantu orang, bapak udah bangga.”

 

Akhirnya ia paham mengapa sekolah menuntut teman-teman di samping rumahnya untuk terlalu sibuk dengan rapot dari pada sibuk untuk mempelajari ilmunya dengan baik.

Budi kembali mengoran dengan Edo, Jatmika, dan Popong berangkat dari pangkalan selepas Dzuhur di tengah kemacetan jalan Jendral Gatot Subroto ia jajakan lembaran kabar Negeri ini.

 

Ia beteriak sambil berlari mengejar …

“Paaaaak, Tunggu!”

Untungnya Trafic Light menghentikan laju mobil Honda keluaran 2014 itu. Dan dengan nafas tersengal Budi langsung bungkuk sembari mengetuk kaca mobil.

“Ada apa de? Saya gak beli koran” Aneh pengemudi yang sepertinya supir

“Ini kembalian bapak waktu itu beli koran saya, 47rb ya pak? Makasih udah beli” Jawabnya sambil mengolah nafas

Supir tersebut pun bingung dan terpaksa menerima uang dari tangan kecil Budi. Sang Juragan yang duduk di belakang mencoba berpikir mengingat-ingat dan memorinya terhenti pada tempat yang sama di jalan ini dua hari yang lalu ia membeli koran tanpa melihat uang yang ia berikan.

 

Di tempat biasa Budi menyelonjorkan kakinya, Budi membuka Al-Quran lembaran terakhir, yakni kertas pembatas yang terselip di antara surat Al-Falaq dan An-Nas, di kertas itu tertulis ‘B 1314 FN Honda Putih tanggal 26 Desember 2016 47rb kembalian koran’

Kejujuran adalah hal penting yang diajarkan Pangkalan kepadanya, meski banyak Ijazah yang disahkan, belum tentu Kejujuran menempel di nilai Ijazahnya. Tidak seperti Budi, yang hanya belajar di dalam lingkungan keras, tapi bapaknya selalu bilang “cari dan pelajarilah sendiri Kerasnya Jalanan, kamu akan temukan kekuatan dari banyaknya kelemahan yang sebetulnya dimiliki orang banyak”

Esoknya, budi kembali ke pangkalan dengan buku baru baginya, bekas bagi kantor penerbitan tempat biasa bapak mencari barang. Bapaknya memang selalu diberikan buku-buku pelajaran dan non-pelajaran dari kantor penerbitan itu lewat satpam di sana yang masih bertetangga pula. Lalu dari buku-buku bekas inilah pangkalan dilengkapi hingga terkumpul dan memiliki perpustakaan.

 

Ia langsung menemui bang Pe’i dan bertanya

“Abang dulu pernah SMP gak?”

“Pernah bud, kenape?”

“Selesai gak bang SMP nya?”

“Ya kagak, makanya abang di sini ame lu pada, hahaha” Gurau Pe’i pada Budi dibarengi tawa anak lainnya

“Kata bapak, kalo selesai SMP, bakal dapet surat bang, tapi bapak bilang surat itu tidak terlalu penting. Apa sih bang isi suratnya?”

“Surat cinte bud, makanya babeh lu bilang gak penting, haha” canda Pe’i lagi

“Serius bang?”

“Kagak bud, becanda. Surat itu namanya Ijazah” Jawab Pe’i serius

“Oh Ijazah.” Tutur Budi sambil mengangguk-angguk tanda sesuatu itu baru ia ketahui

 

 

Diadaptasi dari Lagu Iwan Fals berjudul “Sore Tugu Pancoran”

Terinspirasi dari Film “Alangkah Lucunya Negeri ini”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.