Kalem.id – “Politik kian tidak menarik. Tak ubahnya seperti sinetron, penuh drama yang monoton. Polarisasi kian menjadi, saling hantam kanan kiri”
Negara demokrasi memang harus berpemilu. “Pemilihan umum”, bukan “Pertarungan Menguasai Untung”. Meskipun sebenarnya di Pasal IV Pancasila “Permusyawaratan Perwakilan”. Entahlah, tanya saja pakar tata negara atau pakar hukum.
Di 2019 ini semua elemen dipemilukan. Presiden, DPR, DPRD, dan DPD dipasarkan. Kita memilih sesuai selera, atau tebak-tebakan saja.
Yang paling panas tentu kontestasi presiden, wong calonnya cuma dua. Orangya itu-itu juga. Semacam pertandingan ulang.
Hari ini pencoblosan selesai. Dua kandidat sama-sama mengklaim menang, kata mereka sendiri, atau kata tim mereka lah.
Tidak masalah sebenarnya. Suka-suka mereka saja. Yang jadi persoalan adalah kita, rakyat di bawah. Mau-maunya diikutkan dalam drama. Parahnya, kita cuma jadi figuran. Itu pun tanpa bayaran.
Pertarungan elit politik yang hampir “bar-bar” itu kita jadikan menu di obrolan warung kopi, perbincangan di sekolah, bahasan di rumah, rumpian di arisan, di grup-grup whats ap, di facebook, twitter, instagram, youtube, blog, website, dan segala hal di sekeliling kita.
Begitu militannya kita mendukung calon yang sebenarnya tidak kita kenal-kenal amat, sampai-sampai kita rela mati deminya.
Bahkan saat ini salah satu pihak telah mendekarasikan kemenangan secara paksa, padahal proses hitungan belum selesai. Bukankah situasi ini makin meletupkan semangat pendukungnya?
Celakanya, di lapangan, kita pasti berjumpa dengan orang lain yang berbeda pilihan. Terjadilah obrolan, diskusi, debat. Sukur kalau berhenti di sana. Biasanya berlanjut sampai klaim-klaiman, caci-cacian, maki-makian dan hina-hinaan.
Akibatnya kita bertengkar dengan tetangga, keluarga, sahabat, saudara, teman kerja dan semua orang yang tidak sepaham dengan kita. Kalau sudah begini, elit politik peduli?
Percayalah, siapa pun yang menang, tidak akan berpengaruh signifikan pada kehidupan kita. Yang susah tetap susah, dan harus berjuang sendiri untuk menaikan kelas sosial.
Karena sesungguhnya, janji-janji yang diucapkan para calon itu tidak perlu dianggap terlalu serius. Bukankah dari dulu selalu ada janji “berantas korupsi”, dan sampai ini koruptor masih banyak yang berdasi?
Jangan berharap lebih pada janji politisi. Bukankah janji itu hanya akan membawa pada kekecewaan?
Terakhir, stop sebar-sebar berita pemilu dan segala tetek bengeknya. Sudah selesai pemilunya. Sekarang tinggal sabar, tunggu hasil dari KPU. Lebih baik energi kita gunakan untuk berbuat baik dan bermanfaat.
Oh Anda tidak percaya KPU? Terus mengapa Anda ikut Pemilu? Kemana “Akal Sehat” Anda?
Tuh kan.. Saya jadi ngajak debat. Haha.