KALEM.ID – “Seakan-akan mengenai feminisme dan praktiknya kita para perempuan hanya menetapkan batas-batas pada menagih hak saja.“
Ramai-ramai di sebuah media sosial ada salah satu akun yang mewajarkan standar gaji untuk seorang lelaki jika ingin menjadi suaminya. Tak tanggung-tanggung standar yang dipatok adalah 30 Juta, iya 30 Juta rupiah. Akun yang tidak memasang foto profil dengan foto asli dirinya itu akhirnya mendapat tanggapan dari netizen, tentu banyak yang mengganggap ia sedang melucu.
Namun, apakah betul menetapkan standar gaji untuk calon suami adalah hal yang wajar? Kita lepas dulu soal nominalnya. Berapapun nominalnya, menetapkan standar gaji untuk pasangan menurut saya sah-sah saja, selama kedua belah pihak sepakat. Lah masa iya kalo anda menetapkan standar gaji 30 Juta kepada pasangan anda lalu ketika calon suami menolak karena penghasilannya cuma UMK Sukabumi anda mau mekso? Piye to
Selalu harus ada yang dikorbankan. Jika seorang perempuan mematok harga mahal untuk dirinya ya pasti harus ada harga lain yang dikorbankan. Tiada lain adalah kasih sayang. Apa? Mau bilang bacotmu soal kasih sayang kalo gak ada duit ya tetep sengsara? Tak sedikit pasangan yang menikah atas dasar keuangan selalu berujung perceraian. Kenapa?
Logika sederhananya, anda ibarat sedang memajang diri anda sebagaimana kue-kue di pasar yang disertai banderoll harganya, dan ketika anda memasang harga, itu pasti adalah laku jual beli. Dimana prinsip jual beli itu tidak didasari kadang-kadang oleh rasa cinta, melainkan ya asas saling memebutuhkan. Barang yang sudah dibeli terkadang ketika sudah melewati batas fungsinya alias sudah tak dibutuhkan, mau diapakan?
Maaf-maaf bukan bermaksud menyamakan antara perempuan yang memasang harga dengan kue atau barang dagangan. Tetapi ya ini hanya untuk memudahkan bagaimana cara berpikir dan memahami konsep memasang standar gaji yang konon feminis itu. “Kamu yang malas, perempuan yang disalahkan.” Loh saya sebagai seorang perempuan saja ketika dipaksa memahami kalimat ini tidak sepenuhnya yakin bahwa antara malas dan gaji ada korelasinya.
Saya bukan bertujuan untuk membela para lelaki malas, toh tetap perilaku malas baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah sesuatu yang tidak baik. Namun saya hanya tidak bisa menemukan hubungan antara malas dengan besarnya gaji alias penghasilan. Kecuali, mungkin yang dimaksud mbaknya dengan istilah gaji adalah akumulasi dari berbagai pemasukan keuangan, misal selain bekerja sebagai PNS, calon mbaknya juga sampingan jadi driver Ojol, punya usaha kepiting bakar, kadang membuka jasa layouter plus editor buku sekaligus punya usaha laundry di berbagai kota.
Karena banyak profesi ketika dikerjakan dengan sangat giat dan rajin juga tidak akan ujug-ujug membuat gaji dan upahnya naik hingga 30 Juta per bulan. Pegawai Bank misalnya, anda bisa kerja dengan rajin, datang tepat waktu, semua target pekerjaan terpenuhi, sampai jadi pegawai teladan sekali pun, ya tetap gaji dan upahnya sesuai dengan UMK dan kontrak kerja selama belum diangkat menjadi Kepala Human Resources Management.
Jadi sampai sini sampean paham bahwa tidak ada sama sekali kaitannya antara kemalasan dengan besaran upah atau gaji yang sampean terima? Coba dong, kalau mbak tidak mau disebut perempuan matre jangan sampai membuat pernyataan-pernyataan yang pada akhirnya menggiring mbak kepada kesimpulan bahwa sebetulnya anda ini ya matre. Terus melakukan pembelaan dengan domain-domain hak dan kewajaran, cuh sampah.
Seakan-akan mengenai feminisme dan praktiknya kita para perempuan hanya menetapkan batas-batas pada menagih hak saja. Meski begitu tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak ramah perempuan. Bukan berarti kemudian seperti ini jadinya, kita menagih penebusan dosa-dosa para lelaki dengan nalar yang pincang, semacam menetapkan standar gaji yang menjijikan dalam diskursus feminisme.
Kalau anda tahu, beberapa korban kekerasan seksual yang dialami oleh banyak perempuan di Timur Tengah akibat konflik yang berkepanjangan, atau Malala Yousafzai yang pada akhirnya didaulat sebagai penerima nobel perdamaian. Mereka sebagai perempuan yang mapan dan berdiri sendiri itu lebih terhormat karena kerja-kerja sosial meminta terpenuhinya hak dan edukasi terhadap masyarakat terhadap keberadaan perempuan dimana pun itu.
Mereka tidak pernah diceritakan menyuarakan hak yang berkaitan dengan pribadinya, semisal menikah dan atau biaya kosmetik. Coba deh, saran saya sebelum banyak perempuan salah kaprah soal feminisme yang otoritatif bahkan kontraprodukutif, baiknya perempuan memahami feminisme dari sudut pandang yang lebih halus namun berkeadilan. Menganai hal ini maksud saya, perempuan bisa memenuhi kewajiban sekaligus berani berbicara mana kala hak-haknya tidak diberikan secara adil.