Stoikisme di Indonesia: Bandwagon Effect?

stoikisme

Stoikisme: Suatu hari, tuannya yang kejam telah mengunci kakinya di sepatu bot baja dan memutar kakinya agar membuatnya berteriak. Epictetus hanya memperingatkannya: “Anda akan mematahkan kaki saya.” Kemudian, tuannya melanjutkan dan kakinya patah. Epictetus dengan damai berkata: “Sudah kubilang, sekarang kakiku patah.”

Tambahan ceritanya: Epictetus lanjut menyetrika dibanding bersedih agar tidak memberi tuannya kemenangan ekstra. 

stoikisme

Kemunculan anekdot tersebut melukiskan kedamaian Epictetus sebagai stoik terhadap apa yang terjadi ketika semua di luar kendali dirinya. Walaupun kabarnya, A.A. Long tidak sepakat dengan anekdot tersebut karena Epictetus tidak pernah menggambarkan tuannya sebagai seorang yang kejam. 

Loh? namanya juga anekdot, masa harus fakta?

Stoikisme begitu cepat menjamur dan diterima di Indonesia. Berbagai macam sebab pun dijelaskan, salah satunya karena stoikisme tidak berbenturan dengan agama. Alasan tersebut cukup sulit diterima terkait perdebatan mengenai pandangan stoik terhadap konsep “bunuh diri”.

Saya setuju jika bandwagon effect (tren ikut-ikutan) tidak selalu negatif, contohnya tren yang muncul ketika pandemi: berkebun dan bersepeda. Lalu, ketika ada film “filosofi kopi”, banyak orang tiba-tiba suka update lagi minum kopi.

Namun, ketika bandwagon effect sampai pada level pemikiran tentu sangat disayangkan karena implementasi sebuah konsep pikiran bukan sesuatu yang instan. Stoikisme seakan menjadi terlalu “murah” karena ramai-ramai orang mengeklaim dirinya ialah seorang stoik. Sama seperti fenomena kemarin-kemarin, saat orang banyak menyatakan dirinya pancasilais.

Secara pribadi, saya juga sangat menyukai cara berpikir stoikisme. Lalu, apakah lantas saya langsung menjadi stoik? Jawabannya: belum tentu.

Mengamalkan stoikisme tidak cukup dengan hanya memiliki kekayaan literatur atau mendeklarasikan dirinya dengan bahasa yang teratur. Seseorang dikatakan menghidupkan falsafah ketika sudah mencapai level afektif, bukan kognitif. Contoh nyatanya, saya sangat percaya Raditya Dika ialah seorang stoik sebelum dia menyatakan sendiri dia stoik. 

Jadi, kita tidak perlu terburu-buru meyakinkan orang lain bahwa kita stoik. Toh, stoik tidak butuh pengakuan dari orang lain, kan?

Jika kamu merasa informasi ini bermanfaat silakan bagikan ke jejaringmu. Sempatkan juga untuk berdonasi jika punya rezeki lebih agar kami bisa terus memberikan informasi menarik lainnya.