Malam minggu sendirian, galau? Pujaan hati pergi, galau? Ditinggal nikah gebetan, galau? Tukang bubur bisa naik haji, galau? Bakso punya anak tapi gak punya bapak, galau?
Apakah segala persoalan harus dihadapi dengan galau? Bagaimana jika kita selalu galau? Apakah persoalan selesai dengan galau? Dan, apakah galau itu salah?
Galau menjadi sebuah kondisi yang sudah biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kerap diidentikan dengan kehidupan remaja dan cinta, kenyataannya, siapapun dan apapun masalahnya bisa terjebak dalam kondisi itu.
Jika kita lihat dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), galau berarti pikiran kacau tidak karuan. Tentunya hal ini bisa disebabkan banyak hal, tergantung sikon (situasi dan kondisi). Remaja cenderung digalaukan dengan kehidupan persekolahan, percintaan, pertemanan dan keluarga. Berbeda dengan seorang pekerja kantoran yang dibingungkan dengan urusan kantor, rumah, istri dan anak.
Kondisi galau bukanlah sesuatu yang buruk. Cara menyikapi kegalauan itu yang sering berakibat buruk. Galau bisa menjadi hal positif ketika direspon dengan baik. Kang Ale menemukan bahwa galau merupakan sebagian dari sikap kritis. Dan kritis itu baik jika sesuai dengan tempat dan waktunya.
Jika kita lihat dari sejarah orang-orang hebat, mereka sering bergalau ria. Thales (Bapak Filsafat) yang galau dengan asal muasal dunia, Wright bersaudara yang bingung bagaimana manusia bisa terbang, Thomas Alva Edison yang terus dipusingkan dengan benda penerang di kegelapan.
Tentu saja persoalan yang digalaukan tidak akan selesai hanya dengan menggalau-galaukannya setiap hari sehabis shalat. Perlu tindakan langsung untuk menyelesaikannya, atau untuk memenuhi ekspektasi kegalauan itu.
Ditinjau dari atas, maka, Anda yang terbiasa atau sedang galau tidak perlu merasa menjadi manusia paling menderita di dunia. Tinggal di”menej” galaunya, objek yang menjadi kegalauannya juga cara menyikapinya. Tidak lupa, diiringi dengan kebangkitan berupa tindakan. Karena, apapun yang digalaukannya, move on lah solusinya.
Al-Ghazali mengatakan “Keraguan adalah awal dari keyakinan”. Maka Kang Ale menyebutkan bahwa “Kegalauan adalah awal dari kebangkitan (move on)”.
Pada akhirnya, kalem.. biasa aja. Hheu