Setiap manusia ingin merdeka. Bebas, tanpa beban. Bahkan tanpa takut aturan. Apakah itu bualan? Tidak, hanya angan-angan. Begitulah pikirku, seorang laki-laki yang baru saja meniti kehidupan serius di bumi.
Dibanding para orang tua, tentu saja pengalamanku menjelajahi dunia nyata masih buta. Mungkin meraba-raba. Maka maklumilah jika aku masih banyak bertanya, atau meminta-minta, karena aku belum benar-benar tertata.
Menjadi guru bukanlah cita-citaku meski pendidikan formalku mengarah ke sana. Entahlah mengapa dulu aku memilih jurusan itu, atau kuliah disana. Mungkin karena faktor biologis, dimana darah pendidik mengalir dalam nadiku. Namun bukan berarti aku menyesalinya, karena penyesalan hanyalah ungkapan pengecut yang gagal menghadapi pilihan. Bahkan sejatinya kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, benar kan?
Petualanganku menjadi guru dimulai dari lembaga-lembaga non formal, seperti ngajar ngaji di madrasah, ngajar gambar, dan lainnya. Kemudian masuk ke lembaga formal dengan status guru semi formal, ngajar ekstra kulikuler di sekolah, guru tamu, pemateri pelatihan, dan seterusnya. Hingga akhirnya, Tuhan pun memberi kesempatan agar aku merasakan menjadi guru formal. Guru yang berstatus guru. Bahkan tidak tanggung, sekolah yang menjadi pelabuhanku termasuk sekolah yang bagus, dengan tantangan yang cukup hebat.
Hari-hari pertama biasa saja. Bagai anak ayam yang mencari induknya, aku mencoba menjawab keterasinganku pada suasana baru. Beruntung, ada seorang bidadari yang selalu membimbingku, ibu keduaku di sekolah itu. Partnerku.
Sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa. Lama-lama cukup suka. Dan akhirnya, aku cukup bahagia. Mengapa aku sebut “cukup”, karena aku belum betul-betul tahu arti “bahagia”. Yang pasti, hari-hari kulewati dengan tertawa, banyak suka cita.
Mengapa bisa?
Karena selalu kutemukan hal baru yang membuat semangatku menggebu. Aku baru sadar bahwa aku berhadapan dengan anak-anak hebat. Ada anak yang susah konsentrasi belajar, namun sangat respek ketika kuajak berbicara dengan bahasa daerah. Ada pula seorang anak kuat yang sangat aktif untuk mendapatkan perhatian, namun menjadi cengeng ketika mendapat gangguan teman.
Disisi lain, ada anak yang pendiam, cerdas, namun sering menahan emosinya, sehingga ketika terluapkan sangat sulit berhenti. Pun dengan seorang anak yang membawa bakat kepemimpinan yang hebat, namun mudah tersulut emosi, dan cenderung mendominasi.
Aku pun menemukan seorang anak yang sangat sistematis dalam menjalani aktivitasnya. Rapi sekali. Berlawanan, ada anak yang justru aktivitasnya tidak terskema, hanya mengikuti insting dan kehausan akan pengetahuan.
Belum cukup, masih ada anak yang tidak betah di dalam kelas, sehingga ia lebih banyak belajar dari lingkungan. Bukankah alam adalah salah satu guru yang baik? Lebih hebat lagi, ada anak yang karena sifat kasihnya pada hewan, ia tangkapi berbagai hewan dan kemudian memeliharanya. Meskipun tindakan itu keliru, namun motifnya sudah baik. Tinggal mengarahkannya saja, dan itu butuh proses.
Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian hebat lainnya yang senantiasa mewarnai hari-hariku. Maka tidak keliru jika banyak pakar yang menyatakan bahwa setiap anak itu unik, karena nyatanya memang tidak semua anak bisa disama ratakan. Meski begitu, banyak pula kesamaan yang membuat kita bisa mengarahkan, agar keunikan-keunikan itu bisa saling mengenal dan menyayangi keunikan lainnya.
Dari fenomena-fenomena itu, aku sadar bahwa sebenarnya bukan aku yang menjadi guru mereka, namun merekalah yang mengguruiku. Mereka mengajariku berbagai hal mengenai kehidupan, tentang kejujuran, kesetiakawanan, kasih sayang, keinginan, kesederhanaan, kesedihan, keceriaan, ke-cuek-an, dan banyak hal lainnya yang justru tidak kudapatkan dari orang dewasa, atau bahkan tua.
Banyak dari kita orang dewasa yang telah melupakan, bahkan kehilangan sifat kanak-kanaknya, sehingga menjalani hidup dengan sangat seriusnya. Kita jadi terlalu banyak tertekan, dan merasakan buasnya kenyataan dengan kepahitan dan kesedihan. Kita sering dendam berkelanjutan, padahal anak-anak bisa saling memaafkan. Kita banyak iri dengki, namun anak-anak bisa berbagi. Kita selalu merasa tersaingi, ketika anak-anak bisa saling berpelukan dan bergandengan tangan. Kita ingin barang-barang mewah, padahal anak-anak bisa berbahagia dengan mainan daun dan kayu-kayuan. Senyum kita menjadi mahal. Tertawa kita jadi langka.
Dan hari ini, setelah kurang lebih setahun aku belajar dengan guru-guru kecilku, aku harus mengatakan perpisahan. Ketika aku telah merasakan cinta, aku harus berpisah. Apakah aku tega?
Entahlah, aku pun masih belum benar-benar mengerti arti “tega” yang sesungguhnya. Yang jelas, aku cukup berat. Aku mulai merasakan kenyamanan. Dan aku malah keluar dari zona itu. Namun, bukankah para filosof mengatakan bahwa kita jangan selalu hidup di zona nyaman, karena kita bisa terbuaikan?
Aku tidak tahu bagaimana cara membalas jasa-jasa yang telah diberikan oleh guru-guru kecilku. Hanya seucap terima kasih yang meluap dari dasar hati, diiringi lirih doa yang meresap dari akar sanubari. Semoga guru-guru kecilku menjadi manusia sejati, yang oleh para ulama sebut insan kamil, dan oleh para filosof sebut manusia super, yaitu manusia yang memahami hakikat kemanusiaannya. Terserah mereka nantinya menjadi apa pun, karena sejatinya profesi hanyalah cara untuk mengabdikan diri.
Dan aku harap, ketika mereka dewasa, mereka tidak melupakan masa kanak-kanaknya. Jadilah merdeka, bebas tanpa beban, dan tanpa takut aturan. Karena kebaikan yang sesungguhnya berasal dari kesadaran dan kecintaan pada Tuhan dan mahluknya.
Dan pada akhirnya, aku sedikit menemukan arti “bahagia”, yaitu ketika kita bisa menjadi sebab atas kebahagiaan orang lain. Bagaimana pun caranya.
Izinkan aku, seorang murid tua yang tidak baik ini untuk meminta doa agar jalanku senantiasa dalam kebaikan dan keberkahan.
Maaf, karena aku masih belum bisa menjadi teman yang baik untuk kalian.
Seperti kata pepatah Arab, “Laisal firaq lil firaq, walakinnal firaq lissyauq”, perpisahan bukanlah untuk berpisah, namun perpisahan adalah untuk menciptakan kerinduan.
Dalam bahasa lain, Pidi Baiq mengatakan “Perpisahan adalah upacara untuk menyambut hari-hari penuh rindu”.
Maka, Guru-guru kecilku, mari kita saling merindukan. Dan kata Sudjiwo Tejo “Puncak rindu paling dahsyat itu ketika dua orang tak saling komunikasian tapi diam-diam keduanya saling mendoakan”.
Aku akan sangat merindukan kalian.