Warna Kita : Three in One Story

warna-breakpos.com

Malam itu, tidak sesuai rencana awal, akhirnya aku putuskan untuk pergi ke Surabaya bersama teman seperguruan Elfast, Ilham. Tadinya hanya ingin meminjam motornya, tapi setelah dia berpikir keras, wal hasil dia ngotot mau mendampingiku.

Paginya, setelah mandi dan shalat subuh, kami langsung menancap gas menuju Kota Pahlawan. Apalagi kalau bukan karena ingin memburu buku. Big Bad Wolf Books dengan sombongnya menebar buku-buku import yang dijual dengan potongan 60-80% all books di JX International, Jln. Ahmad Yani, Surabaya. Siapa yang tidak ngiler. Di sisi lain dengan ini aku menyatakan bahwa balas dendamku fix terpenuhi setelah gagal meraih buku-buku murah seharga 5.000-10.000 yang digelar di Bandung. Tanpa disadari, bukan hanya buku yang kuraih, pun pengalaman berharga lainnya yang tidak disangka-sangka sebelumnya.

Kami melewati kecamatan Ngoro, Jombang. Tiada kata yang pantas diucap selain ketakjuban kepada manusia dan alamnya. Sama-sama natural. Jauh dari hiruk-pikuk modernitas dan kepalsuan-kepalsuan materialistik. Udaranya yang masih sejuk nan segar membuatku sempat berpikir untuk memutuskan tinggal di tempat ini, soalnya aku sudah muak dengan udara di perkotaan yang penuh dengan asap rokok dan kendaraan.

Kesegarannya semakin sempurna saat mataku memandang tanaman-tanaman jagung yang berdiri kokoh di sepanjang jalan. Baiknya warga Ngoro bisa menjadikan jagung sebagai makanan alternatif pengganti nasi. Jalan raya saat itu masih terasa lowong, atau memang selau sepi? tidak banyak kendaraan yang lewat. Kalaupun ada, paling hanya mobil gerobak pembawa sayur-mayur, atau bapak-bapak yang sedang mengendarai ontel hitamnya.

Selanjutnya pandanganku beralih ke seorang wanita kisaran umur kepala empat yang sedang menyapu halaman rumahnya. Rata-rata rumah-rumah yang ada disini memiliki halaman yang cukup untuk ditumbuhi beberapa pohon, seperti pisang dan mangga. Jangan berpikir kalau halamannya berisikan motor atau mobil mewah yang berlapis keramik emas, alih-alih masih tertata sesuai apa yang diberikan-Nya.

Wajah-wajah mereka juga masih natural, polos, dan Indonesia banget. Aku senyum-senyum sendiri melihatnya. Dua pelajar SD berkulit sawo matang yang berlari-larian, siswi berseragam pramuka yang sedang menggoes sepeda biru mudanya, hingga sekawanan pelajar SMP yang sedang menunggu angkot di persimpangan jalan. Tidak ada lipstik, bedak tebal, parfum yang semerbak, gigi yang digembok, apalagi tato. Aku seperti sedang menemukan orang-orang purba yang sudah semakin langka di bumi pertiwi ini. Andai saja kamu juga melihatnya.

Suasananya berbalik 180 derajat ketika motor temanku sudah memasuki kawasan Surabaya. Aku seperti ditarik paksa ke tempat asalku, dimana manusia-manusia modern tumbuh, berkembang dan merusak. Cuaca panas yang menyengat – yang diakibatkan oleh tangan manusia, para pengemudi yang gemar melanggar aturan, hingga para pelajar yang ultra dewasa. Oh ternyata temanku ini juga merupakan salah satu dari mereka. Berhenti di depan zebra cross saat lampu merah dan mengambil alih trotoar. “Ah, disini udah biasa, Bang.” ucapnya sambil cengengesan. Ada betulnya juga apa yang dikatakan temanku ini. Lah, mobil yang berhenti saat rambu berwarna merah saja diklakson berkali-kali – isyarat harus terus berjalan – oleh para pengemudi lainnya.

Orang Cina Melek Ilmu

Sampai di JX International, kami terpana melihat betapa banyaknya buku disana. Ini mah lautan buku. Aku bingung harus mulai dari mana. Beberapa menit kemudian Ilham mencolek bahuku dan mengedipkan mata, memberi isyarat kalau dipojokan sana adalah wilayah buku-buku agama. Hatiku berbinar. Ini yang aku cari-cari. Untuk ini aku korbankan satu hari bolos masuk kursus di Pare. Sayangnya kenyataan tidak selalu sesuai dengan ekspektasi. Nol besar untuk buku-buku Islam. Yang ada hanya buku-buku Kristen dan Buddha. Aku kecewa, kenapa bisa sampai tidak ada. Satu saja kumohon.

Setelah berlarian kesana-kemari, kutemukan wilayah buku-buku agama lainnya, yang letaknya di sisi tengah kanan. Sekali lagi harus kecewa karena ternyata bukan buku import, alih-alih kumpulan buku terbitan Mizan yang sedang cuci gudang membanting harga beberapa bukunya. Jadi fix, buku keislaman yang berbahasa Inggris memang tidak ada disini. Tapi karena sudah jauh-jauh ke Surabaya, rugi rasanya kalau tidak membeli apapun. Lalu kuputuskan untuk mengubek-ubek satu persatu rak buku yang kukira jumlahnya lebih dari 50 buah.

Sambil melirik keranjang buku-ku yang tak kunjung terisi, aku memerhatikan para pengunjung di sini, ternyata didominasi oleh para chinese kelas menengah ke atas. Yang laki-lakinya tinggi, ganteng, gagah, dan perempuannya yang, ya kamu lebih tahu lah soal ini. Aku kagum dengan minat baca mereka yang tinggi. Bahkan tidak sedikit yang sudah berumur tapi tangannya masih gesit saat membuka lembaran-lembaran buku dihadapannya. Pantas saja, kupikir, banyak orang Cina yang mendominasi Indonesia dalam berbagai aspeknya. Mereka juga tak lupa untuk membawa kawan sejawat atau keluarga –anaknya. Memang sih ada orang lokal, tapi itu pun banyaknya dari kalangan mahasiswa.

Pandanganku terhenti di satu buku perempuan chinese yang wajahnya bak model, dengan senyum yang dapat membuat para jones baper. Supaya tidak terlalu ketahuan kalau sedang menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini, aku secara bergantian melirik buku-buku apa saja yang ada dikeranjangnya. Tak menyangka, ternyata keranjangnya hampir penuh. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya? sepertinya uang bukanlah sesuatu yang dia permasalahkan, alih-alih kehidupan tanpa ilmu yang ditakutinya.

Takut zina mata, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan bidadari tak bersayap itu. Lagian aku juga sudah memboyong tiga buah buku yang mungkin bisa menemani hari-hariku di Pare. Ada novel The Arch and The Butterfly karangan Mohammed Achaari, seorang penyair, jurnalis, dan penulis cerita pendek asal Maroko. Katanya novel ini meraih penghargaan Winner of the 2011 International Prize for Arabic Fiction. Kedua, adalah novel karangan Jostein Gaarder yang judulnya The Castle in the Pyrenees. Yang satu ini belum ada terjemahan Indonesianya. Dan terakhir, buku bacaan berat The World is Flat karangan Thomas L. Friedman dimana dalam buku ini dimuat argumen-argumen ilmiah yang membuktikan bahwa bumi itu tidaklah bulat seperti yang selama ini kita yakini.

Siapa Yang Keblinger?

Selesai membeli buku, aku dibawa Ilham ke kediamannya karena waktu untuk shalat Jumat semakin dekat. Setelah istirahat sejenak, aku menuju masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah temanku ini. Awalnya ingin melanjutkan istirahat (red: tidur) di masjid, tapi nyatanya tidak bisa karena khutbah sang khatib telah membangunkan hati dan pikiranku, dus jiwa dan raga-ku.

Dengan begitu menggebu-gebu dia bercerita tentang muridnya yang – katanya – sudah melenceng dari ajaran agama. Si anak, berkat berguru kepada Prof. Google, telah memberi statement kepada ibunya tentang Nabi Muhammad yang katanya memiliki libido tinggi. Buktinya, Rasulullah menikahi banyak perempuan. Apalagi kalau bukan maniak sex. Begitulah kata si anak.

Dari sepotong kisah ini, khatib mewanti-wanti para jamaah supaya tidak mengambil ilmu agama dari internet, apalagi kalau – katanya – yang menulis adalah non muslim. Tidak sampai disana, ia juga menyarankan untuk menjauhkan umat muslim dari membaca buku. Selain bisa menyesatkan, juga tidak bisa menanyakan sesuatu yang tidak dimengerti kepada penulisnya. Konsekuensinya, ia menganjurkan umat muslim untuk menuntut ilmu secara langsung. Harus menemui dan bertatap muka dengan gurunya.

Memang benar kalau kita harus memiliki guru saat menuntut ilmu. Tapi mbok ya tidak usah lebai sampai melarang umat muslim membaca buku. Di saat di luar sana banyak orang yang mati-matian mempromosikan pentingnya membaca buku, si khatib malah menyuruh untuk menutupnya, seakan-akan dia telah menjadi pembangkang firman Allah yang pertama kali turun kepada Rasulullah.

Buku sangat membantu manusia untuk bisa menerobos ruang dan waktu. Aku bisa belajar dari Imam Bukhari, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Ishaq, Yusuf Al-Qardawi, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Hamka, dan jutaan ulama lainnya yang tidak sezaman denganku. Aku juga bisa belajar dari Quraish Shihab, Emha Ainun Nadjib, Agus Musthofa, dan yang lainnya yang sezaman denganku walau terpisahkan oleh jarak hanya dengan membaca karya-karyanya. Pemahaman mengenai Al-Quran itu sendiri tidak kita dapat langsung (bertemu) dari Nabi Muhammad melainkan hasil interpretasi para ulama. Kalau ada yang melenceng atau yang aneh-aneh, ya wajar-wajar saja, namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna. Jangankan non muslim, ulama-ulama atau cendekiawan muslim sendiri memiliki pemahaman yang beragam. Kenapa juga harus sampai melarang membaca buku karya non muslim? Pemikiran yang sempit memang sering akan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang berlebihan.

Daripada melarang si anak – sebagaimana kasus di atas – untuk mencari ilmu di internet atau buku, dimana berarti menandakan si anak sedang memiliki rasa keingintahuan yang besar mengenai keyakinannya, atau menutup pikiran-pikiran kritisnya, lebih baik beri mereka bimbingan dan arahan. Ajarkan kepadanya bagaimana cara menyaring sebuah ilmu. Cukup itu. Tidak perlu sampai melarang anak pergi ke sekolah hanya karena takut tertabrak kendaraan yang lewat.

Begitulah kurang lebih secercah warna-warni negeri kita, yang katanya mau tak mau harus tetap dicintai. Campur aduk rasanya, seperti permen nano-nano. Konon kekurangan dan kelebihan seringkali menyatu layaknya Yin dan Yang supaya bumi ini tetap seimbang. Mau dibawa kemana masa depan negeri ini, semua tergantung dengan apa yang kita rencanakan dan perbuat sekarang. Jadi tentukanlah dengan bijak. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.