Sejak kecil kita dijejali pengertian mengenai pahala dan dosa. Pahala akan membawa kita kepada surga sementara dosa akan mengantarkan kita ke neraka. Namun, apakah pembaca yang budiman memahami bentuk atau wujud dari pahala dan dosa tersebut? Atau semata-mata latah saja menjalankan apa yang telah diajarkan oleh orang tua yang juga entah mengerti atau tidak.
Mengapa kita menumpuk pahala? Mengapa sumber pahala itu banyak, dan apa sejatinya pahala itu? Pun dengan dosa, apakah dengan makan babi kita akan masuk neraka? Apakah jika sering berbohong kita juga masuk neraka? Apakah betul-betul sesederhana itu?
Pahala dan dosa seakan-akan adalah konsep yang abstrak dan supranatural. Padahal jika kita berusaha untuk mencoba memahami dengan lebih cermat, konsep pahala dan dosa sangat dapat kita bayangkan dalam kondisi kita yang sekarang ini.
Pada tulisan sebelumnya tentang vibrasi, frekuensi, dan energi saya sudah mengutip sebuah kutipan dari Abah Tesla. Bahwa untuk memahami realitas yang ada, kita perlu berpikir dari sudut pandang ketiga hal tersebut. Termasuk juga dalam memahami pahala dan dosa.
Setiap manusia melakukan sesuatu, tubuh manusia mengeluarkan frekuensi tertentu dan melepaskan kimiawi tertentu dari dalam tubuh. Perbuatan tersebut bisa baik dan bisa juga buruk. Frekuensi akan berubah menjadi energi, Frekuensi yang terpancar ketika manusia berbuat baik akan direspon oleh alam, alam pun kemudian mengembalikan energi tersebut ke dalam bentuk lain yang mempengaruhi diri si manusia baik secara langsung atau pun tidak langsung. Itulah karma.
Pahala bermakna sebagai perubahan kondisi diri secara utuh atau sebagian yang dikarenakan perbuatan-perbuatan baik. Bagi mereka yang berbuat baik meski secuilpun akan dikembalikan kepadanya sesuai yang ia berikan itu.
Frekuensi yang kita keluarkan dari perbuatan baik itu mewujud dalam bentuk-bentuk yang lain, seperti kemudahan hidup, dikabulnya keinginan, dilancarkan urusan dan sebagainya. Pun jika frekuensi yang berubah menjadi energi itu menembus dimensi yang lain, yaitu ke tempat yang baru yang akan kita jumpai setelah kita mati. Amal baik yang menemani kita di alam setelah kehidupan ini.
Pada dosa juga berlaku konsep yang sama, frekuensi yang kita keluarkan dari perbuatan buruk kita akan mewujud dalam format lain. Energi yang dihasilkan dari frekuensi keburukan itu yang juga ditangkap oleh alam dan dikembalikan lagi kepada kita sesuai dengan frekuensinya. Tubuh kita akan mengalami perubahan yang juga tidak mengenakkan.
Energi yang kemudian berdatangan tak ubahnya adalah yang mempersempit rejeki, terhalangnya doa, dan kesulitan-kesulitan lain. Pada alam berikutnya pun sama, energi yang dibawa dari amal keburukan yang akan selanjutnya menjerumuskan kita kepada seburuk-buruknya tempat kembali.
Mereka yang saleh/suci yang akan diizinkan untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Sederhana saja, semua karena dirinya dilingkupi dengan frekuensi yang sesuai dengan yang diharapkan. Mereka yang kelebihan energi buruk akan memberatkan dirinya sendiri untuk lulus pada kehidupan dunia yang sekarang.
Pertanyaan berikutnya muncul, kebaikan seperti apa dan keburukan macam apa yang akan mendatangkan pahala dan dosa. Sampai di sini pembaca yang budiman seharusnya sudah menyadari, bahwa frasa ‘mendapatkan pahala’ tidak bermakna mencari kemudian menyimpan. Melainkan mengeluarkan kemudian menerima.
Mengeluarkan frekuensi kebaikan yang secara otomatis membuat seseorang menerima energi kebaikan juga. Apa itu kebaikan? Kebaikan adalah segala sesuatu yang pantas dan sesuai dengan kehendakNya. Dari mana kita tahu bahwa apa yang kita perbuat itu sudah pasti kehendakNya?
Iqra’, maka bacalah dengan segenap kesanggupanmu untuk memahami dan mengalami. Kitab suci terbuka sepanjang waktu untuk mengetahui apa yang Ia kehendaki. Namun tidak hanya itu, pemahaman tentang frekuensi menuntun kita pada dimensi rasa.
Kita akan tahu, apa yang kita lakukan sejalan dengan galurNya atau tidak berdasar kepada frekuensi yang kita rasakan. Bagaimana kita menangkap frekuensi? Itulah gunanya bagi pembaca yang budiman untuk lebih mengenal diri, melakukan suluk-suluk, dan mendekat kepada Tuhan. Yang bermakna juga mendekati diri sendiri, menelusuk ke dalam diri sendiri.
Demikian saya cukupkan terlebih dahulu pembahasan mengenai pahala dan dosa ini. Pada sudut pandang ini, kita cenderung bisa memahami ketetapan Tuhan sebagai sebuah realitas yang bersembunyi. Namun, semuanya dapat dipahami. Kita tidak melakukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang supra-rasional. Kitalah yang mengangkat pemahaman kita dan meninggikan batasan rasional kita. Karena pemilahan mana hal rasional dan mana yang supra rasional ditetapkan pada standar yang sebenarnya tidak jelas juga.
Wallahu a’alam bissawab