Zaid dan Umar 3 : Buku Ulama Itu

sombong-breakpos.com

Umar sedang membaca buku tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama. Meskipun nyantri di pondok klasik yang biasanya mengkaji kitab kuning, ia tetap sempatkan membaca buku. Bukan hanya buku keagamaan, puisi, cerpen, novel, filsafat, sejarah, dan buku apa pun kerap jadi bahan lahapannya. Tiba-tiba seseorang datang dari kejauhan.

“Weui.. Ngapain kamu baca buku ulama itu! Dia itu sesat, munafik, dan seneng duit!” Ucap Nandang yang baru saja datang dari luar pondok.

“Hm.. gitu..” jawab Umar dengan santai sambil terus menatap kalimat-kalimat yang tertera di buku yang ia pegang.

“Iya.. dia sering ikut pertemuan sama pendeta, biksu, bahkan sama zionis. Dia juga sering garap proyek pemerintah. Omongan-omongannya ngawur, jauh dari Quran dan Sunnah. Pokoknya sesat deh!” Timpal Nandang lagi dengan menggebu-gebu.

Umar masih tetap membaca. Ia tidak terlalu menggubris ucapan temannya itu. Tentu saja Nandang kesal dengan respon Umar. Ia berharap Umar serius menanggapi ucapannya.

“Kamu kok diam aja! Malah ngelanjutin baca buku itu!” Kata Nandang mulai sedikit emosi.

“Hm..” Umar menutup buku, setelah menyelipkan sobekan kertas ke halaman terakhir yang ia baca. “Kamu maunya aku gimana?”.

“Ya serius dong menyimak omonganku!”

“Oke. Sekarang gimana?” Ucap Umar seraya menghadapkan badannya kepada Nandang.

“Ya jadi gimana tanggapanmu dengan omonganku tadi?”

Umar menghela nafas. “Hm.. Jadi begini. Aku tanya sama kamu. Kamu uda pernah baca buku atau tulisan karya ulama ini?”

Nandang mengernyitkan dahi. “Belum sih”.

“Atau, kamu pernah dateng dan lihat pengajiannya?”

“Belum juga”.

“Gimana dengan biografinya, riwayat pendidikannya, udah tahu?”

“Belum”.

“Kalo gitu, kamu pernah mondok di pesantrennya? Atau minimal diam beberapa hari di pesantrennya?”.

“Belum juga sih”.

“Hm.. Terus, kamu tahu ulama ini dari mana?”

Nandang mulai terpojok. “Ya aku lihat di media internet. Juga banyak di pesan-pesan WA yang dikirim orang” katanya masih nyolot.

Umar menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang. “Huh.. Ya sudah.. Nih kamu ngobrol sama sandalku! Hahaha”.

“Aah.. Teu baleg!” Nandang menepuk keras pundak Umar, kesal, sambil berdiri dan meninggalkan Umar.

Nandang tergolong santri yang masih baru, meskipun ia mondok lebih awal dari Umar. Beda lima bulan. Mereka berada dalam satu kelas, karena jarak kedatangannya yang tidak terlalu jauh. Maka tidak heran, candaan-candaan mereka pun sangat akrab, kadang seperti orang yang sedang berkelahi.

Dua hari kemudian, Nandang mendapat telpon dari kelurganya di Ciamis. Ia disuruh pulang untuk menghadiri haul Kakeknya. Setelah meminta izin kepada Kiyai dan Kang Bakar selaku pengurus, Nandang pun bersiap pergi. Namun ia tidak sendirian, Umar diizinkan untuk menemaninya pulang.

Nandang dan Umar berangkat, naik angkutan kota. Jarak yang ditempuh menuju terminal sekitar satu jam. Setelah sampai di terminal, mereka melaksanakan shalat dulu, karena jam tangan Nandang menunjukkan angka 12:30. Sebagai seorang santri, mereka paham untuk mempermudah pelaksanaan shalat dalam perjalanan. Maka jama dan qashar pun dipiih. Umar bertindak sebagai imam, nandang mengikuti di belakangnya.

Dari luar mushala, seorang tukang parkir nampak memperhatikan shalat Nandang dan Umar. Dia nampak serius. Awalnya dia tidak sengaja menatap, namun ia mendapatkan suatu keganjilan. Ia merasa heran dan aneh. Meski begitu, ia tidak melakukan apa-apa sampai shalat mereka selesai dan keluar dari mushola.

Perjalanan panjang dari Cianjur menuju Ciamis ditempuh dengan wajar. Sesampainya di rumah Nandang, mereka melajukan aktivitas selayaknya seorang santri. Dimanapun dan dalam keadaan apa pun, seorang santri memang harus nyantri. Hingga tidak terasa, 3 hari telah mereka lewati. Setelah berpamitan, minta doa dan restu kepada keluarga, Nandang dan Umar segera berangkat menuju pondok kembali. Kali ini tas mereka cukup padat, dijejali makanan dan beberapa kebutuhan pokok sebagai bekal di pesantren.

Jam 8 pagi Nandang dan Umar berangkat. Beberapa jam kemudian mereka telah sampai di terminal. Karena matahari telah melewati setengah perjalanannya, mereka shalat duhur di mushola terminal yang empat hari lalu mereka gunakan. Tentu saja mereka tidak ingin melewatkan rukhsoh yang diberikan dalam shalat.

Kembali lagi, seseorang dari luar mushola menyimak shalat Nandang dan Umar. Dia adalah tukang parkir yang empat hari lalu juga mengamati mereka. Bapak umur 40-an itu masih mengernyitkan dahi, pertanda heran. Ia kemudian berbisik kepada orang-orang yang ada di dekatnya. Bahkan ia berkeliling, mendatangi teman-temannya yang biasa hadir di terminal itu.

Ketika Nandang dan Umar keluar dari mushola, mereka dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang siap menyergap mereka.

“Kamu dari golongan mana? Sesat kamu!” Bentak tukang parkir.

“Islam yang sesat gak boleh shalat disini!” Teriak yang lain.

“Kalian jangan pernah shalat di sini lagi!” Ungkap seorang pedagang asongan.

Nandang dan Umar kebingungan. Mereka tidak bisa berkata-kata. Umar mencoba meluaskan pandangan, menangkap ekspresi-ekspresi yang tersurat dari raut wajah orang-orang yang berkumpul di hadapannya. Mata yang melotot, urat-urat tampak jelas menimbulkan guratan-guratan di atas pipi. Bibir yang kasar meluapkan kata-kata yang tegas dan panas.

Keringat dingin mulai membasahi baju Nandang dan Umar, antara kaget dan takut. Mereka masih membatu, dengan mulut membisu. Entah harus apa, atau harus bagaimana? Siapa yang bisa tenang ketika berhadapan dengan puluhan orang yang siap menerbangkan pukulan dan tendangan?

Untungnya, tiba-tiba datang seorang tukang bakso yang biasa menjadi imam dan ustad di mushola itu. “Ada apa ini?” Tanyanya.

Kerumunan yang tadinya ribut pun agak mereda, menghormati orang yang biasa diustadzkan oleh mereka.

“Ini Kang, mereka dari golongan sesat! Gak boleh dong shalat disini. Nanti musola ini kena adzab!” Celetuk tukang parkir.

“Iya Kang Asep, Shalat mereka aja aneh” Tambah yang lain kepada tukang bakso itu yang bernama Kang Asep.

Kang Asep berusaha menenangkan. “Tenang.. Sabar.. Kita cari tahu dulu persoalannya, jangan main hakim sendiri” ungkapnya lembut namun tegas. “Akang- akang ini dari mana?” Lanjut Kang Asep kepada Nandang dan Umar.

Umar langsung merespon. “Kita santri dari Pesantren Nurul Qalbi. Habis dari Ciamis, mau pulang ke pondok” katanya berusaha tenang.

“Oh.. Nurul Qalbi.. Abah Kiyai ya?” Jawab Kang Asep lagi.

Umar mengangguk seraya senyum terpaksa, namun sedikit tenang.

“Terus ada apa dengan shalat kalian?”

Nandang dan Umar menggaruk kepala, “Gak tahu Kang.. Kita shalat seperti biasanya”.

“Bohong Kang!” Tukang parkir tidak terima. “Shalat mereka aneh. Tidak mau berjamaah bareng-bareng dengan yang lain, terus shalat duhurnya dipisah, dua rakaat-dua rakaat”.

“Coba jelaskan Kang Santri, shalat apa yang kalian lakukan tadi.” Ucap Kang Asep.

“Kita tadi shalat dhuhur dan Ashar dijamak dan diqashar. Jadi shalat dhuhur dan Ashar dilaksanakan di satu waktu, terus rakaatnya jadi dua-dua, karena diqashar” terang Umar yang sudah tidak tegang.

Ting! Kang Asep menemukan benang merah. “Nah Bapak-bapak, Akang-akang, sudah dengar kan? Itu shalat Jamak dan Qashar. Hukumnya boleh, karena itu merupakan rukhsoh, kemudahan, bagi mereka yang sedang dalam perjalanan” jelasnya. Kerumunan yang tadi mengepung pun menyimak dengan seksama sambil angguk-angguk.

“Jadi mereka berdua gak sesat Kang?” Tanya tukang parkir lagi, menguatkan.

“Gak lah.. Saya juga sering kok shalat Jamak dan Qashar kalo lagi mudik”.

Redamlah amarah yang tadi sempat naik.

“Ya sudah.. Sekarang kan uda jelas, cuman salah paham. Yuk maaf-maafan semuanya” Seru Kang Asep lagi.

Suasana di depan mushola mencair, dipenuhi tawa dan senyum. Satu persatu orang-orang yang berkumpul di depan mushola saling berjabat tangan, khususnya kepada Nandang dan Umar.

“Oh ya..” Kang Asep membuat orang-orang memperhatikan dia lagi. “Jangan lupa nanti malam Jum’at ba’da Magrib pengajian lagi. Biar gak salah paham terus.. hehe”.

“Hehehe.. Iya Kang” serempak orang-orang menjawab sambil tersenyum malu.

Setelah bubar, Nandang dan Umar berkemas untuk segera menaiki angkutan kota menuju pondok. Mereka menyalami dan memeluk Kang Asep, yang telah menyelamatkan mereka dari suasana yang cukup mencekam tadi.

“Hatur nuhun Kang” Nandang dan Umar berbarengan.

“Iya sama-sama. Maaf ya atas kesalahpahamannya. Salam untuk Kang Zaid, dan Pak Kiyai” kata Kang Asep lagi.

“Oh.. kenal sama Kang Zaid?” Tanya Umar dan Nandang heran. Kalau Pak Kiyai memang masyhur dan dikenal banyak orang.

“Iya.. Saya sering ngobrol dengan dia. Bilangin aja, salam dari Kang Asep Bakso”.

“Oh.. Iya Insyaallah Kang” jawab Nandang dan Umar lagi. “Mangga Kang. Assalamu’alaikum” Mereka berpamitan dan langsung menaiki angkot.

Di dalam angkot, Umar masih bingung. Bagaimana mungkin Kang Zaid bisa kenal dengan Kang Asep yang berjualan bakso di terminal? Ia tidak habis pikir, bagaimana cara seniornya itu bisa dikenal orang yang kesehariannya di terminal? Semakin dia berpikir, semakin berkumpul prasangka-prasangka yang umumnya mengarah ke negatif. “Astagfirullah..” Ucapnya dalam hati, mencoba mengembalikan kewarasannya. Kemudian ia membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku. Ya, buku tasawuf yang sejak beberapa hari ini ia baca.

Sementara itu, Nandang masih melamun dan mengingat-ingat peristiwa yang baru saja ia alami. Ia mencoba menangkap hikmah dari fenomena itu. Namun lamunannya harus buyar setelah tangannya tidak sengaja tersenggol oleh tangan Umar yang sedang mengambil sesuatu dari dalam tas. Sontak saja Nandang menoleh kepada Umar.

Umar mulai membuka halaman terakhir yang ia baca. Tenang sekali. Nandang memperhatikannya dengan serius.

“Mar, kamu masih baca buku itu?” Kata Nandang.

“Hm.. Iya..” Jawab Umar singkat tanpa melihat wajah Nandang.

“Mar.. Umar..!” Nandang lagi.

“Kenapa Dang?” Masih melihat buku.

“Kalo uda beres baca buku itu, aku pinjem. Pengen tahu..” Ucap Nandang malu-malu.

“Eh..!” Umar kaget, lalu tersenyum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.