Kang Bakar mendapat semprotan marah dari salah seorang masyarakat. Ia dicaci oleh Mang Uju di depan sebagian masyarakat. Selaku Rais para santri, Kang Bakar dinilai harus bertanggung jawab atas kegaduhan yang terjadi di Masjid Jami ketika Shalat Jum’at kemarin.
Para santri merasa gerah dengan sikap Mang Uju itu yang dinilai tidak menggunakan etika dalam menyampaikan komentar.
“Mentang-mentang banyak santri yang jum’atan di sana, kok jadi nyalahin santri?” Ucap Unang ketika ngopi di depan koperasi.
“Padahal yang bikin gaduh kan anak-anak kampung sana, eh marahnya ke santri” Nandang merespon.
“Gimana sikap Kang Bakar ya?” Kata Unang lagi, seraya menyeruput kopi.
“Mana Pak Kyai sedang Ziarah lagi ke Surabaya” Ungkap Nandang dengan ekspresi sedih dan bingung.
“Kita tarik barisan aja, gimana?” Unang tertawa kecil.
“Maksudnya?”
“Kita usulkan ke Kang Bakar, terus sama Kyai, agar pasa Santri jum’atan di Masjid Pesantren aja. Jadi selesai persoalan!”
“Weuu ... Ente Bahlul!” Celetuk Nandang, meninggalkan Unang sendiri di Koperasi.
Meski sedang menjadi sorotan, Kang Bakar tidak menunjukkan sikap bingung. Ia tetap melaksanakan aktivitas sebagaimana biasa. Tidak nampak kecemasan dalam pesona wajahnya. Selaku sesepuh santri, tentu saja wajahnya terlihat tua sebagaimana umurnya. Namun ketenangan dan kewibawaannya mencitrakan kedalaman ilmu dan pengalaman.
Malam minggu Kang Bakar diundang oleh Pak RW untuk ikut bermusyawarah dengan masyarakat. Setiap ada musyawarah di kampung, pihak RW atau pun Desa memang selalu mengikutsertakan pihak pesantren. Biasanya Kang Bakar mendampingi Pak Kyai. Namun kali ini ia harus berangkat seorang diri.
Ketika berjalan dari kamar asrama menuju gerbang pesantren untuk menghadiri musyawarah, Kang Bakar melihat seorang santri. Ia kemudian melambaikan tangan, seperti mengajak.
“Saya Kang?” Tanya Umar dengan suara pelan yang nampak ragu.
Kang Bakar hanya tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya.
“Saya ikut?” Tanya Umar dalam hati. “Ngapain Kang Bakar mengajakku?” Ia masih belum percaya. Meski begitu, Umar tetap mengikuti Kang Bakar dari belakang.
Musyawarah diadakan di Madrasah. Tokoh-tokoh masyarakat di RW telah banyak yang hadir. Kang Bakar yang baru saja tiba langsung menyalami mereka satu persatu, sampai ia menemukan celah tempat kosong di ujung deretan, yaitu pas depan pintu masuk sebelah selatan. Duduklah Kang Bakar, diikuti juga oleh Umar.
Selang beberapa menit, setelah tokoh-tokoh masyarakat dirasa telah hadir, musyawarah di mulai.
“Karena sebentar lagi masa kepengurusan saya sebagai Ketua RW habis, Insyaallah kita akan mengadakan pemilihan Ketua RW” Ucap Pak RW memulai pembahasan. “Pemilihannya kita langsungkan bulan depan“.
Hadirin yang menyimak tidak terkejut. Mereka kemudian menyampaikan masukan dan pendapat. Dari mulai kriteria, sosok, evaluasi, serta program apa saja yang ingin dicapai oleh RW tersebut.
Umar memperhatikan Kang Bakar yang lebih banyak diam dan tersenyum. Kang bakar hanya berbicara ketika dimintai tanggapannya oleh Pak RW, selaku pemimpin rapat.
“Alhamdulillah, evaluasi dan rekomendasi telah rampung kita musyawarahkan. Untuk siapa saja para calon pengganti saya, InsyAllah nanti Minggu depan di rapat selanjutnya kita sebutkan” Ucap Pak RW. “Apakah malam ini ada lagi yang ingin dimusyawahkan, silahkan dari para hadirin“.
Peserta musyawarah terdiam. Mayoritas merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sampai tiba-tiba seseorang mengacungkan tangan.
“Silahkan Mang Uju” kata Pak RW mempersilahkan.
Suasana yang tadinya tenang malah jadi ribut. Banyak masyarakat yang berbisik-bisik.
“Para hadirin dimohon tenang” Pak RW menertibkan forum.
Umar merasa aneh. Mengapa respon masyarakat begitu buruk terhadap Mang Uju.
“Saya ingin menyampaikan sesuatu, mumpung ada Kang Bakar selaku perwakilan dari pesantren” ucap Mang Uju membuka pembahasan baru.
Pikiran Umar langsung tertuju pada kejadian pasca Shalat Jumat kemarin. Ia masih ingat bagaimana pedasnya kata-kata yang keluar dari mulut Mang Uju kepada seniornya, Kang Bakar. “Apa dia belum puas marahin Kang Bakar?” Ucapnya dalam hati.
“Mengenai kejadian pas Jumat kemarin ...” Mang Uju berkata dengan lantang. “Saya mohon maaf sama Kang Bakar, karena bertindak emosional. Namun tujuan saya hanya ingin agar suasana Shalat Jumat lebih kondusif dan khusyuk“.
Umar cukup kaget, karena kali ini sikap Mang Uju justru berlawanan dengan karakter biasanya. Namun yang lebih mengagetkan adalah respon para hadirin terhadap pernyataan Mang Uju ini. Mereka berbisik-bisik lagi, menjadikan suasana forum ribut.
“Ah, Dasar … Pencitraan” Sesekali terdengar suara-suara kecil.
“Dia udah mulai kampanye terselubung” Bisik yang lain.
Ditengah-tengah kegaduhan forum, Umar mendengar tawa-tawa kecil dari belakangnya, tepatnya dari luar masjid dekat pintu masuk sebelah selatan. Ia merasa kenal dengan suara itu. “Siapa ya?” Gumamnya dalam hati. Namun penasarannya itu tak berlangsung lama, karena ia langsung memperhatikan Kang Bakar yang mulai memberikan penjelasan.
“Tidak apa-apa Mang, Saya juga minta maaf karena belum bisa menertibkan para santri, khususnya santri yang masih kecil” Jawab Kang Bakar simpel.
Tidak lama setelah Kang Bakar berbicara, Pak RW menutup forum musyawarah dengan membacakan doa. Para hadirin yang notabene tokoh masyarakat pun bersalaman.
Setelah berpamitan dan basa-basi, Kang Bakar lekas meninggalkan tempat musyawarah menuju pesantren. Tentu saja Umar mengikutinya dari belakang. Jalanan begitu sepi, karena waktu menunjukkan pukul 10 malam di perkampungan. Beda dengan kota megapolitan yang tak pernah mati.
“Apa yang kau tangkap dari hal ini?” Tiba-tiba Kang Bakar melontarkan pertanyaan. Entah untuk siapa pertanyaan itu.
Umar merasa bahwa dirinyalah yang dituju oleh pertanyaan Kang Bakar, karena nyatanya memang ia sedang berjalan di belakangnya.
Namun, kembali Umar dikagetkan dengan suara tawa-tawa kecil dari belakang. “Hihi ... Ucapan Ente normatif. Tapi memang kudunya gitu.”
Umar langsung menengok ke belakang. Dan untuk ke sekian kalinya di malam ini ia merasa menjadi manusia jantungan. “Kang Zaid!” “Sejak kapan?!” Hatinya berbicara.
Zaid mempercepat jalan, hingga ia berdiri di sebelah Umar. Dengan sekali ayunan, Zaid mengalungkan sebelah tangannya di pundak adik tingkatnya itu. “Memangnya, siapa yang diajak sama Kang Bakar?”
Umar tersadar. Lambaian tangan Kang Bakar ketika berangkat tadi adalah untuk Zaid, bukan untuknya. Pantas saja Kang Bakar tidak berbicara kepadanya, hanya tersenyum.
“Gapapa, Tenang saja Mar, Nanti kau memahaminya. Hehe” kata Zaid.
Umar merasa langkah kakinya melambat, karena kedua seniornya semakin cepat di depannya. Sedikit demi sedikit, Umar semakin terpisah. Hingga bayangan mereka menghilang ditelan malam.
Sesampainya di pondok, Umar merenung. Ia masih bingung dengan ucapan Zaid yang menyiratkan bahwa ia belum memahami, karena memang ia belum mengerti. Kegundahan Umar menjadi bunga yang menyelimutinya dari kelelahan siang, menuju peristirahatan sementara.
Esok hari, Umar menjalankan aktifitas santri biasa, meski ia masih memikul beban pikiran semalam. Setelah pengajian pagi, ia menyendiri sambil menyeruput kopi. Ia duduk di bangku depan koperasi, menikmati pemandangan anak kecil yang tengah bermain.
Dari kejauhan, nampak sosok Zaid mendekatinya. Ia gembira, meski dalam lubuk hatinya sedikit tegang. Sejak mengetahui dalamnya ilmu seniornya itu, Umar memang sedikit canggung kepadanya. Antara ta’dzim, malu, butuh, dan takut.
“Kang, kopi hitamnya satu” Ucap Zaid kepada penjaga koperasi setiba di sana. Ia langsung duduk di sebelah Umar.
Umar membuka pembicaraan, “Dari mana Kang?”
“Dari kemarin menuju besok yang belum tentu. hehe” jawab Zaid.
Umar hanya terdiam mendapat jawaban seperti itu.
“Kau lihat anak itu!” Zaid berucap. “Ngapain coba dia?”
“Main Kang” Umar berkata.
“Kenapa dia malah main? Kan waktu itu berharga. Waktu tidak akan kembali. Mengapa anak itu tidak beribadah, atau mencari ilmu, atau apa pun yang lebih bermanfaat?”
“Karena dia masih anak-anak Kang.”
“Yaps, Haha”
Umar malah makin bingung. Mengapa Zaid memberikan pertanyaan yang bahkan setiap orang pasti bisa menjawabnya. Ia penasaran. “Lantas, mengapa Akang menanyakan itu?”
“Karena dia anak-anak, dia belum sah disebut manusia. Dia belum mendapat pilihan, juga konsekuensi atas pilihannya. Maka manusia dewasa yang harus membimbingnya, mengarahkannya, juga memaklumi atas kesalahannya.” terang Zaid yang mulai menyalakan kreteknya.
“Terkadang, kita yang telah dewasa terlalu pengecut. Mungkin karena kita dididik menjadi pengecut.” lanjut Zaid.
“Maksud Akang?” Umar tidak mengerti.
“Kita tidak berani menyatakan kesalahan kita, kelemahan kita. Kita lebih memilih menjadikan sesuatu sebagai penyebab kesalahan kita.”
“Saya belum mengerti Kang ...”
“Untuk siapa shalatmu, puasamu, ibadahmu?”
“Untuk Allah, Kang …”
“Jika kau shalat untuk Allah, karena Allah, lantas apa hubungannya shalatmu dengan anak-anak yang berisik?” Zaid mulai mengkerucutkan pembahasannya. “Jika puasamu untuk Allah, karena Allah, lantas mengapa kau marah ketika ada warung atau tempat makan yang buka? Apakah shalatmu tidak khusyuk itu karena suasana yang ribut? Apakah puasamu bisa batal karena melihat makanan di warung?”
Hati Umar masih mengganjal. “Tapi Kang ... Bukankah kita harus mengupayakan kondisi yang paling baik, agar ibadah kita lebih khusyuk?”
“Benar ... Namun bukan berarti menjadikan hal yang kita anggap tidak baik sebagai alasan menjadi buruknya ibadah kita. Bahkan, sejatinya kita tidak pernah tahu mana hakikatnya yang baik dan tidak. Apalagi jika upaya mengkondusifkannya itu dilakukan dengan cara yang keliru ... Shalatmu tidak khusyuk karena hatimu masih kotor. Puasamu bisa batal karena hatimu tidak ikut berpuasa.”
Umar mulai sedikit memahami ucapan Zaid. Ia mendengarkan dengan seksama.
“Lebih jauh lagi, kita terbiasa menjadikan syetan sebagai penyebab perbuatan dosa kita. Nafsu kita lah yang tidak kita kendalikan. Apakah syetan akan bertanggungjawab atas dosa kita?”
Zaid menyeruput kopi hitamnya. Ia melanjutkan, “Yang lebih bahaya lagi, kita terlalu ke-geer-an. Kita merasa bahwa kita paling benar, dan paling dekat dengan Gusti. Sudah mah kita mengkambinghitamkan, eh menyalahkan yang tidak ikut dengan kita. Pepatah mengatakan ‘Ibda binafsik’, mulailah dari diri sendiri. Sayyidina Ali berucap ‘Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya’. Bukankah itu menunjukkan agar kita lebih banyak menilai diri sendiri, berkaca diri, bahkan mengenal diri?”
Umar terdiam. Ia terhanyut oleh kata-kata yang keluar dari mulut Zaid. Secara tiba-tiba, pikiran Umar membayangkan Mang Uju. Tanpa basa-basi, ia ungkapkan itu, “Gimana dengan Mang Uju, Kang?”
Zaid cukup kaget dengan pertanyaan juniornya itu. “Haha ... Aku salut sama Mang Uju. Dia berani mengakui kesalahannya.”
“Bukankah itu ia lakukan demi pencitraan?” Umar bertanya lagi.
“Tidak perlu suudzon. Gusti dan dia lah yang lebih tahu motifnya. hehe”
Tiba-tiba, anak yang sedang main di depan Umar dan Zaid tersandung batu. Badannya ambruk ke tanah. Ia menangis. Unang yang kebetulan sedang lewat dan berada di sampingnya langsung berlari dan membangunkannya.
“Jep.. Jep.. Tuh kodoknya lari! Tuh kodoknya lari! Pukul kodoknya! Uuh! Uuh!” Kata Unang menenangkan anak itu.
“Sejak kecil kita telah dididik untuk mengkambinghitamkan, bahkan kepada sesuatu yang tidak ada ... Haha” Ucap Zaid menanggapi kejadian di depannnya.
Umar mengernyitkan dahi, kemudian ikut tertawa.